Senin, 04 Oktober 2021

EDUCATIONAL POLICY (AN INTERNATIONAL SURVEY) (BOOK REPORT)

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

Ada banyak buku yang menjelaskan dan menganalisis sistem edukasi di berbagai negara, sayangnya masih sedikit referensi yang menjelaskan mengenai sistem-sistem kebijakan pendidikan. Nyaris tidak ada satupun buku yang menyajikan kumpulan studi kebijakan pendidikan negara-negara yang disebutkan dalam buku ini yaitu Australia, Prancis, Jepang, Swedia, Inggris, Amerika, dan Jerman Barat.

Ada dua maksud dalam penulisan buku ini,

1.      Untuk mengisi kekosongan literatur,

2.      Berdasarkan pengamatan penulis terhadap situasi pendidikan di tahun-tahun terakhir ini taerjadi perubahan yang sangat besar dalam sistem ekonomi dan sistem sosial di berbagai negara diseluruh dunia, terutama di negara-negara yang dibahas dalam buku ini, terjadi pertumbuhan dan perubahan yang sangat besar dalam reorientasi kebijakan pendidikan. Dengan terjadinya  krisis minyak dunia maka upaya peningkatan kesejahteraan nampak terhenti seiring menurunnya pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi di negara-negara tersebut cenderung melahirkan banyaknya pengangguran atau peningkatan inflasi selama bertahun-tahun.

Konteks

Pada tahun-tahun lahirnya krisis ekonomi, lahir pula ketidakpercayaan terhadap sistem pendidikan. Masyarakat mempertanyakan apakah nilai-nilai universal yang diajarkan para pendidik dan nilai-nilai sosial yang dianut oleh masyarakat adalah hal yang perlu dipertahankan?  Jika demikian, kenapa semakin banyak generasi muda yang menjadi terasing oleh sistem pendidikan?  Kenapa kita masih membaca di media dan melihat di layar televisi terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh pelajar? Sektor pendidikan adalah sektor yang sangat menguras anggaran, maka sektor ini tidak mampu menghindar dari efek depresi ekonomi.

 

Tujuan

Tujuan penulisan buku ini tidak hanya untuk menjelaskan kebijakan pendidikan di tujuh negara yang dibahas, tetapi untuk menjelaskan pengembangan kebijakan yang berpengaruh sepanjang masa dalam hubungannya dengan kepentingan sosial dan ekonomi suatu negara. Buku ini mengeksplorasi dan membandingkan pengaruh  kebijakan pendidikan di dunia modern, yaitu dunia dimana terjadi peningkatan komunikasi dan informasi. Perubahan ini membuat negara negara tidak dapat lagi mengisolasi diri dari perkembangan pendidikan yang saling mempengaruhi.

 

Studi Komparatif

Di dunia pendidikan, studi perbandingan sistem antar negara bukanlah hal yang baru, baik yang membandingkan institusi-instritusi pendidikan hingga membandingkan sistem-sistem yang lebih luas.  Tema yang diangkat dalam buku ini adalah interaksi antara sektor pendidikan dengan masyarakat luas, sehingga membantu kita memahami karakter sebuah negara dan menghargai sistem pendidikannya. Kebijakan pendidikan dan para pembuat kebijakan tersebut akan terlihat bereaksi terhadap trend-trend nasional dan pengaruh-pengaruh internasional.

Studi komparatif pendidikan menunjukkan trend yang berlangsung pada berbagai bidang pendidikan, misalnya pada bidang sejarah, sosiologi, politik dan ekonomi. Tujuan primer penelitian di bidang ini adalah untuk membantu pengambilan keputusan dan kebijakan yang berdampak langsung terhadap perencanaan pendidikan dan perubahan kebijakan.

 

Tantangan Kebijakan Sepanjang Periode 1980an

Di awal tahun 80-an, perhatian pemerintah tertuju pada bagaimana membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem, yaitu bahwa sistem yang ada ini menjamin terjadinya kemajuan dan kesejahteraan. Banyak negara mengalami krisis kepercayaan multidimensi. Hal ini sangat berbahaya jika dibiarkan berkepanjangan, kebijakan baru harus disusun dan diimplementasikan yaitu mengembangkan potensi pendidikan tinggi untuk diarahkan membangun ekonomi dan kesejahteraan masyarakat melalui budaya saintifik dan teknologi.

Konferensi kebijakan pendidikan telah diadakan untuk membahas tantangan yang harus dihadapi oleh kebijakan pendidikan periode tahun 80-an pada jenjang pendidikan tinggi. Tantangan-tantangan tersebut diantaranya:

1.      Merespon kebutuhan-kebutuhan baru pada level lokal dan komunitas

2.      Merevitalisasi ekonomi dengan cara memproduksi manusia-manusia yang tepat dan berkualifikasi tinggi untuk berkontribusi sebagai tenaga kerja dalam konteks pesatnya perkembangan teknologi

3.      Membangun teknologi inovasi dengan pesat melalui riset-riset saintifik

4.      Mempromosikan kesejahteraan sosial untuk mengatasi situasi krisis ekonomi yang dihadapi masyarakat.

5.       

Struktur Buku

Tujuh negara yang dipilih oleh penulis buku ini adalah negara-negara yang sedang mengembangkan sistem pendidikannya untuk  menghadapi berbagai tantangan kebijakan pendidikan. Buku ini menyumbang karya tulis faktual mengenai negara-negara yang sudah dikunjungi oleh penulis secara langsung maupun tidak langsung.

Para penulis yang dimuat di sini dapat dianggap sebagai pakar kebijakan pendidikan di tujuh negara yang dipilih dalam buku ini, mereka adalah pelaku sistem pendidikan nasional pada level yang sangat senior. Ketujuh penulis ini telah menetap dan mempelajari sistem pendidikan sehingga mampu menyajikan data-data dan tulisan sebagai representasi senior dari Kementerian Pendidikan Nasional negaranya.

Peran penulis buku ini secara praktis lebih terlihat sebagai editor, yaitu membuat struktur outline dan menyajikan essay analisis yang mengkompromikan tulisan-tulisan mengenai pendekatan kebijakan yang berbeda-beda di negara-negara tersebut, demikianpun editor tidak dapat sebebasnya melakukan penilaian subyektif karena buku ini harus tetap memelihara fleksibilitas tulisan para kontributor supaya bisa mempertahankan keunikan dan rasa karya tulis masing-masing kontributor.


 

BAB II

KAJIAN BUKU

 

A.          Isu-Isu Konseptual Dan Teoritis

1.      Kebijakan

Istilah ‘kebijakan’ masih membutuhkan pengejawantahan yang lebih lanjut, istilah ini digunakan dengan berbagai cara untuk menyatakan seperangkat fenomena yang rumit. Banyak penulis tidak yang membedakan antara pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan.

Kebijakan publik terjadi dalam berbagai bidang, termasuk di bidang pendidikan. Kebiakan dapat lahir dalam berbagai bentuk dan dapat diarahkan untuk berbagai tujuan. Sebagian kebijakan dapat lahir dalam bentuk peraturan kementerian, sebagan kebijakan lainnya ditetapkan melalui legislasi atau regulasi, sedangkan kebijakan lainnya berupa isu-isu yang diangkat oleh menteri atau pejabat senior.

Dilihat dari isinya, kebijakan publik untuk pendidikan dapat dikelompokkan menjadi empat kategori.

1.      Kebijakan mengenai fungsi dasar sekolah dan institusi pendidikan, sebagian besar kebijakan ini terkait dengan kurikulum, penetapan tujuan, perekrutan siswa ujian, siswa penghargaan atau sertifikat, diploma dan gelar, dan bidang studi

2.      Kebijakan mengenai penetapan struktur dan pemerintahan, institusi pendidikan, dan keseluruhan sistem pendidikan

3.      Kebijakan mengenai perekrutan, promosi, supervisi dan numerasi staff

4.      Kebijakan yang berhubungan dengan alokasi keuangan dan fasilitas

 

2.      Proses Kebijakan

Pembahasan buku ini akan memfokuskan bagaimana masalah-masalah kebijakan ditangani berdasarkan karakteristiknya dan bagaimana respon yang dikembangkan. Dalam melakukan ini penulis menggunakan istilah ‘proses kebijakan’ daripada konsep tradisional mengenai ‘pembuatan kebijakan’, alasannya karena penulis percaya bahwa kebijakan publik adalah mengenai transformasi konflik sumber daya dan tata nilai masyarakat menjadi aksi dalam ruang-ruang yang diizinkan. Sementara konsep pembuatan kebijakan ini terfokus secara eksklusif kepada elemen keputusan yang melibatkan serangkaian tahap yang meliputi sebuah siklus, yaitu siklus ketika sebuah program dijalankan hingga dihentikan atau berubah menjadi program baru.

Biasanya kebijakan-kebijakan baru di dunia pendidikan lahir sebagai gabungan atau variasi kebijakan lama, artinya sebuah kebijakan baru biasanya sebuah kebijakan pemerintah yang betul-betul baru, tetapi hanya merupakan sebuah penyesuaian dan penggantian kebijakan yang ada. Pada setiap tahap proses kebijakan selalu ada ketidaksinkronan dan konflik dukungan sehingga tidak ada jaminan sebuah kebijakan selalu menghasilkan kesuksesan. Seringkali tindakan yang dipilih pada setiap tahap menjadi stimulus lahirnya tatanan baru untuk perubahan atau penggantian kebijakan.

Empat tahapan dalam proses kebijakan

1.      Mengenali isu-isu dan mengidentifikasi masalah

2.      Formulasi dan otorisasi kebijakan

3.      Interpretasi kebijakan dan aplikasinya ke dalam berbagai kasus

4.      Penghentian atau pengubahan kebijakan

Pendidikan dalam arti sempit lebih mengacu kepada pendidikan formal yang diselenggarakan oleh sebuah institusi daripada proses tumbuh kembang utuh sepanjang hayat. Penulis membatasi fokus pembahasan buku ini pada jenjang pendidikan dasar dan lanjutan.

 

3.      Konteks Kebijakan

kebijakan dikembangkan melalui konteks-konteks tertentu, diantaranya adalah tata nilai, tantangan dan masalah, dan melalui paket kesepakatan tertentu. kebijakan juga merupakan respon terhadap masalah kebutuhan dan aspirasi

 

4.      Pengembangan Dan Penerapan Kebijakan

Supaya kita mampu menghargai masalah-masalah kebijakan dengan lebih baik, kita perlu memiliki pemahaman mengenai aktor-aktor utama yang terlibat dalam kebijakan tersebut, dan memahami karakteristik langkah-langkah dalam mengembangkan dan menerapkan kebijakan pendidikan tersebut.

 

5.      Aktor Kebijakan

Dalam meninjau konflik keberagaman komunitas, kita perlu melihat bagaimana peta kekuatan-kekuatan dalam keputusan-keputusan kebijakan pendidikan. Salah satu peta kondisi yang paling ekstrim adalah situasi dimana peran pemerintah sangat pasif terkait kebijakan pendidikan, yaitu evolusi kebijakan diserahkan kepada Persatuan Guru, asosiasi orang tua, para karyawan dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya. Pada sisi ekstrem lainnya ada pandangan bahwa kebijakan pendidikan sangat bergantung kepada selera kementerian pendidikan atau pejabat yang berkuasa. Kedua pandangan ekstrem ini mengandung kebenaran namun tidak sepenuhnya benar. Pada kenyataannya ada sangat banyak aktor yang terlibat dalam formulasi kebijakan yang mempengaruhi kekuatan kekuatan formal supaya berbagi kepentingan dengan para aktor partisipan tersebut.

Para aktor kebijakan yang terlibat dengan kebijakan pendidikan dapat dibagi kedalam dua kelompok yaitu official dan unofficial.

1.      Aktor official adalah orang-orang atau organisasi yang memiliki tanggung jawab legal,

2.      Aktor non official biasanya kelompok-kelompok yang berkepentingan, partai politik dan media

Aktor official dapat dikelompokkan ke dalam lima golongan.

1.      Aktor-aktor pada level senior pemerintahan yaitu kepala negara, parlemen, perdana menteri kabinet, dan partai politik baik pendukung pemerintah maupun bukan pendukung.

2.      Aktor official Kementerian Pendidikan dan dinas-dinas terkait yang memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi kinerja pendidikan.

3.      Kelompok official para agen pendidikan yang bertanggung jawab dalam tugas-tugas penyelenggaraan Ujian Nasional, pengembangan kurikulum, dan pengembangan guru

4.      Lembaga pemerintah di luar dunia pendidikan yang memainkan peran sebagai pengembang dan pelaksana kebijakan pendidikan diantaranya adalah departemen-departemen yang memberikan saran dari sudut kepentingan ketenagakerjaan kemasyarakatan.

5.      kelompok ke-5 dari aktor official adalah asosiasi-asosiasi pendidikan.

 

Aktor-aktor informal yang utama adalah kelompok-kelompok yang berkepentingan, partai politik, dan media. Kelompok yang memegang peranan penting dalam kategori unofficial ini adalah asosiasi guru yang terdiri dari para guru, kepala sekolah, bahkan dari perwakilan pelajar. Kelompok ini mengangkat topik yang sangat luas dengan berbagai fokus pendidikan dan merundingkannya dengan pemangku kebijakan.

Mengenai media massa, di banyak negara, media semakin tertarik dengan kebijakan pendidikan dan melakukan mekanisme pemenuhan kebutuhan publikasi di bidang pendidikan. Sayangnya kebanyakan media sangat miskin informasi dan kurang mampu merefleksikan pemikiran-pemikiran pendidikan.

Proses Kebijakan secara praktis

Di sepanjang masa dan di semua sistem kebijakan pendidikan, ada ratusan hingga ribuan isu potensional yang dapat dikategorikan sebagai masalah yang terkategori masalah kebijakan sehingga harus direspon oleh keluarnya sebuah kebijakan. Dalam perkembangan kerangka waktu kedepannya, selalu terjadi kondisi dimana hanya sedikit diantara masalah-masalah tersebut yang terus berkembang menjadi isu public, dan lebih sedikit lagi dari isu tersebut yang berhasil diantisipasi atau ditangani oleh para aktor aktor official. Kondisi ini melahirkan pertanyaan mengenai bagaimanakah mekanisme untuk membedakan mana isu yang tidak perlu direspon dan mana isu yang berpotensi menjadi masalah untuk direspon oleh kebijakan.

Cobb dan Elder merekomendasikan empat pengelompokan isu berdasarkan lahirnya isu-isu tersebut

1.      Isu yang lahir dari partai yang tidak puas dengan pembagian sumber daya dan jatah kekuasaan

2.      Isu yang lahir dari orang atau grup yang ingin mendapat keuntungan

3.      Isu yang lahir dari situasi yang tidak terantisipasi

4.      Isu yang diangkat oleh orang atau kelompok yang tidak memiliki motif sumber daya dan jabatan

Kesuksesan implementasi suatu kebijakan sangat tergantung kepada empat faktor:

1.      Faktor pertama, adanya desain kebijakan. Kebijakan yang ideal harus punya target-target yang jelas dan tidak mengandung ambigu. Sebuah kebijakan akan rendah tingkat kesuksesannya jika mengandalkan konsepsi teoritis yang lemah, atau jika tujuannya tidak jelas dan tidak realistis.

2.      Faktor kedua dalam strategi implementasi adalah program-program sederhana dan membutuhkan sistem manajemen yang tidak begitu rumit sehingga tingkat kesuksesan menjadi tinggi, sangat banyak kebijakan yang kandas karena rumitnya tantangan kerjasama melibatkan departemen-departemen yang berbeda dan dalam level-level yang berbeda pula.

3.      Faktor ketiga adalah komitmen dan kapasitas sistem birokrasi, meliputi pemenuhan sumber daya dan sarana

4.      Faktor Keempat adalah faktor lingkungan, yaitu seberapa tinggi dukungan pihak support dan pihak oposisi dalam pemerintah dan seberapa tinggi kecenderungan untuk membangun koalisi.

 

Evaluasi kebijakan di berbagai negara dapat dilakukan dalam bentuk yang berbeda-beda. Kadangkala kebijakan atau program dievaluasi secara formal menggunakan pihak ketiga, tapi sering juga proses evaluasi pada tingkat nasional hanya berupa feedback kepada pejabat atau Kementerian. Kadangkala suatu kebijakan pendidikan dibuka dan diakhiri secara mendadak, tetapi umumnya kebijakan pendidikan hanya sekedar disesuaikan, dimodifikasi, dipertajam, atau ditukar dengan kebijakan lainnya.

 

B.     Isi Buku

Buku ini nampak tidak bertujuan untuk merangkum sebuah analisis kompleks perbandingan dari esai esai di berbagai negara tetapi untuk menemukan sisi kesamaan dan sisi kontras antar kebijakan pendidikan di tujuh negara ini. Sangat penting untuk membahas kebijakan pendidikan melalui pertanyaan-pertanyaan teoritis dan konseptual. Misalnya dengan cara mendiskusikan mengenai perbedaan penggunaan dan pemaknaan istilah ‘kebijakan’, dan perlunya menghubungkan proses kebijakan dengan konteks konteks pendidikan.

Konstitusi dan kerangka kerja di sebuah negara sangat mendominasi pembahasa kebijakan pendidikan di tujuh negara yang dibahas. Penulis menemukan karakter Perancis, Jepang, dan Swedia termasuk yang betul-betul memegang kontrol terhadap sektor pendidikan. Sedangkan Australia, Amerika, dan Jerman Barat sebagai negara federal memberlakukan undang-undang yang membagi peran dan menyebarkan wewenang kepada komponen-komponen negara. Seringkali tujuan-tujuan praktis dari sebuah kebijakan pendidikan ditentukan oleh lembaga negara pada level rendah sebagaimana dilakukan oleh dinas-dinas pendidikan di Amerika yang mengelola distrik-distrik sekolah yang melahirkan beragam cakupan kebijakan, dari cakupan sebuah sekolah kecil hingga mencakup miliaran siswa.

Inggris adalah sebuah kasus khusus, pemerintahan pusat di Inggris memiliki kekuasaan mutlak untuk membuat hukum dan penetapan administrative. Tetapi dalam urusan kebijakan pendidikan, Inggris memilih menyerahkan kekuasaan tersebut kepada 104 otoritas lokal.

Kebalikan dari kebijakan pendidikan di Amerika yang sangat disebar, di Perancis justru sangat terpusat, contohnya adalah semua guru di rekrut dan dipekerjakan langsung oleh kementerian pendidikan nasional. Saat ini di Perancis baru mulai terjadi trend pendelegasian wewenang pembuatan kebijakan kepada pihak lokal. di Jepang administrasi lokal dari sebuah sistem persekolahan dibangun dengan kokoh pada tingkat pemerintah lokal, dalam perkembangan Jelang masa kini terlihat adanya pengaruh dari perkembangan sains dan kebudayaan di Tokyo, yaitu mendorong sektor pendidikan untuk mengejar trend pendidikan internasional

Rentang jenjang pendidikan prasekolah di berbagai negara sangat beragam, di Inggris diadakan sampai umur 5 tahun, di Perancis sampai umur 6 tahun, di Jerman Barat hingga antara 6 sampai 7. Di semua negara tersebut ada kerangka yang jelas untuk layanan pendidikan prasekolah dalam bentuk sistem semi edukasi, dapat disebut sebagai sistem taman kanak-kanak atau sistem pengasuhan anak.

Pada jenjang Sekolah Dasar, kebanyakan diskusi terfokus kepada gaya mengajar dan metode-metode progresif tren yang sama muncul di berbagai negara, tren yang paling berkembang saat ini adalah pembelajaran yang berpusat kepada anak.

Kecenderungan lainnya adalah adanya perhatian khusus terhadap pelajaran matematika dan bahasa, keduanya dipandang sebagai fondasi yang sangat penting untuk dibekalkan kepada peserta didik muda. Di Swedia, sudah menjadi hal yang lumrah bagi pelajar untuk mempelajari bahasa asing terutama bahasa inggris sejak usia Sekolah Dasar, kondisi ini tidak banyak terjadi di sekolah-sekolah di Prancis, Australia, dan Amerika.

Kebijakan pendidikan pada level pendidikan lanjutan didominasi oleh pertanyaan mengenai kebutuhan reorganisasi jalur pendidikan. Swedia adalah negara yang betul-betul menerapkan prinsip kebijakan komprehensif yaitu demokratisasi pendidikan.

Di tujuh negara, terjadi situasi kebijakan yang sangat kompleks oleh dua hal yaitu:

1.      Adanya sekolah-sekolah swasta yang terpisah dari sistem

2.      Adanya pertanyaan mengenai guru bidang tunggal dan guru multi bidang, hal ini mempengaruhi beragam capaian siswa.

Kebijakan di setiap negara selalu memperhatikan elemen biaya, kepentingan sekolah, dan seringkali kepentingan agama tertentu. Di Perancis dan Inggris, sekolah-sekolah agama beroperasi terintegrasi dengan sistem nasional dan mendapat bantuan pemerintah dalam porsi yang bervariasi.

Di semua negara, pendidikan lanjutan atau pendidikan tinggi menawarkan layanan berorientasi vokasional baik untuk beroperasi full time maupun part time Hal ini menandakan semakin eratnya integrasi antara output pendidikan dengan kebutuhan ekonomi. Di setiap negara ada semacam ketidakpastian mengenai apakah kebijakan harus terus menarget terciptanya SDM untuk lapangan pekerjaan atau untuk memenuhi kebutuhan ilmiah yang lebih tinggi, atau gabungan dari keduanya. Dengan terjadinya pengangguran massal di berbagai negara pada tahun 1980-an yang diprediksi akan berlangsung hingga akhir abad ke-20 maka banyak pelajar yang meninggalkan sekolah karena beranggapan mereka tidak dapat bekerja mengandalkan hasil didikan di sekolah.


 

BAB III

PEMBAHASAN

 

1.      Kebijakan Pendidikan Di Inggris

Bagi anak-anak yang berusia antara 5 dan 16 tahun, pendidikan itu wajib di UK. Pendidikan yang dibiayai pemerintah bagi anak-anak pada usia ini terstruktur dalam dua atau tiga jalur (tier). Sistem dua jalur (two-tier-system) terdiri dari sekolah dasar (Primary school) dan sekolah menengah pilihan atau tanpa pilihan (selective/non selective secondary school) . sekolah dasar adalah sekolah untuk anak-anak yang berusia antara 5-11 tahun, kecuali di Scotland dimana transfer dilakukan pada usia 12 bukan 11 tahun. Adakalanya terbagi lagi dalam kelompok 5-7 tahun (infant school) dan kelompok 7-11 tahun (junior school). Sekolah menengah adalah untuk anak-anak yang berusia antara 11 dan 16 atau 18 tahun. Sistem tiga jalur (three-tier system) terdiri sekolah pertama (first school) adalah bagi anak-anak yang berusia 5-8 atau 9 tahun, sekolah menengah (middle school) bagi anak berusia antara 8-12 atau 9-13 tahun, dan sekolah tingkat atas (upper school) biasanya non selektif, bagi anak-anak berusia antara 12 atau 13-16 atau 18 tahun.

Sistem sekolah dengan dua jalur adalah yang banyak dilaksanakan di UK . sistem tiga jalur dijumpai hanya di England yang menampung kurang 15 %  dari seluruh murid . sampai tahun 1965 kebanyakan anak-anak di England dan Wales di tes pada usia 11 tahun untuk mengetahui kecocokanya memasuki sekolah yang berorientasi akademik yaitu sekolah menengah yang dikenal dengan “grammar school”. Kurang lebih 25 % anak-anak pada usia ini memasuki “grammar school”. Anak-anak yang lain memasuki sekolah yang dikenal dengan nama sekolah menengah modern(secondary-modern school) yang kurikulumnya kurang berorientasi pada akademik. Tentu saja bagi mereka yang menamatkan pendidikanya disekolah ini lebih kecil peluang untuk bisa mengikuti ujian negara pada usia 16 tahun dan juga mereka kurang memperoleh fasilitas apabila berkeinginan melanjutkan pendidikan setelah usia 16 tahun. Semenjak tahun 1965, didorong terutama oleh pemerintah partai buruh, hampir semua “I.e.a.s” lebih mengakui dan menyukai sistem sekolah menengah yang dapat menampung berbagai kemampuan, dan ini dikenal dengan sebagai sekolah komprehensif (Comprehensive school). Sebagaian besar anak-anak berusia 11-16 tahun saat ini mendapat pendidikan di sekolah jenis ini.

Anak-anak yang melampui usia wajib belajar (16 tahun) dapat juga meneruskan pendidikanya di sekolah sendiri dalam program yang dinamakan “sixth from” dengan tambahan waktu dua tahun lagi atau mereka juga boleh pindah ke lembaga lain seperti “Sixth-from collage” yang menampung secara penuh anak-amak usia 16 -18 tahun, ke “Tertiary Collage”. “Collage of Further Education” atau ke “Technical Collage” tiga yang terakhir ini pada dasarnya adalah sama , melayani mahasiswa yang purna waktu ( Full Time) dan paruh waktu (part-time).

Pendidikan bagi anak-anak yang telah tamat dari pendidikan dasar menengah dapat dikelompokkan dalam dua kategori, pertama “nonadvanced further education” (NAFE)  untuk yang tidak akan meneruskan kependidikan tinggi , tetapi dipersiapkan mengambil General Certificate of Education (GCE) tingkat advanced (A) dan kategori. kedua, pendidikan tinggi yang otonom yang diselenggrakan dengan dana pemerintah, dan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh “I.e.a.s” yang sebagian dikenal dengan politeknik (Di Scotland, ada 14 perguruan tinggi yang langsung dibiayai oleh Pemerintah Pusat). Banyak “I.e.a.s yang menyelenggrakan kedua jenis pendidikan ini. Universitas dan Politeknik adalah pusat pendidikan untuk memperoleh titel dan penelitian, politeknik kuat dalam pendidikan “part time” dan melayani terutama mahasiswa berusia 21 tahun ke atas. Titel pertama yang diberikan oleh sistem pendidikan di UK menuntut tiga tahun kuliah bahkan sebagian program menuntut 4 tahun atau lebih.

A.    Pendidikan Nonformal

Berbagai program untuk orang dewasa dan Cuntinuing Education disenggarakan oleh “I.e.a.s, jurusan-jurusan ekstra universitas, dan badan-badan tertentu seperti Asosiasi Pendidikan para pegawai. Pada umumnya kuliah-kuliah diselenggarakan “part-time” (siang atau malam), tetapi ada sebagaian yang mengharuskan tinggal dikampus dalam waktu pendek, dan sebagian kecil sekali ada yang harus tinggal di kampus dalam jangka waktu panjang pada perguruan tinggi negeri. Mata kuliah yang ditawarkan bervariasi besar sekali, mulai dari pendidikan paling dasar seperti tulis baca sampai pada mata kuliah untuk mengambil ujian program akademik atau mata-mata kuliah vokasional. Biaya pendidikan umumnya ditanggung oleh mahasiswa.

Universitas Terbuka (Open University, OU) tergolong pendidikan non formal yang mampu menawarkan berbagai program akademik dengan berbagai gelar. Perkuliahan sebagian besar dilakukan di rumah melalui korespondensi, televisi dan radio. Tidak diperlukan kualifikasi akdemik formal untuk mendaftar di Universitasb Terbuka ini, dan gelar di berikan atas dasar jumlah kredit yang diperoleh dengan sukses pada setiap fase perkuliahan.

Pelayanan terhadap generasi muda diadakan dengan tujuan untuk meningkatkan pendidikan sosial secara informal pada waktu-waktu senggang sambil membina pengembangan bakat mereka. pelayanan ini diseenggarakan oelh beberapa klanb bejerja sama dengan pejabat-pejabat setempat termasuk “I.e.a.s” dan macam-macam organisasi sukarela, tetapi itu bukanlah gerakan sukarela kaum muda secara nasional.[7]

 

B.     Kurikulum dan Metodologi Pengajaran di Inggris

Tidak ada kurikulum yang ditentukan secara nasional akan tetapi badan-badan yang mengurus ujian serta yang mengawasi General Sertificate of Education menghendaki kesamaan kurikulum pada tingkat sekolah menengah setiap daerah. Dalam prakteknya tanggung jawab atas kurikulum-kurikulum sekolah negeri terletak pada guru-guru sendiri walaupun “I.e.a.s” juga bertanggung jawab secara umum.

Inspektur Pendidikan (Her Majesty’s Inspectors of School, HMIS) bertanggung jawab kepada pendidikan atas pengawasanya terhadap sekolah negeri dan swasta, memeriksa dan melaporkanya, serta memberikan saran dan memberikan saran dan nasihat kepada sekolah dan “I.e.a.s” juga mempunyai Inspektur, penasihat dan perencana-perencana sendiri untuk membantu sekolah yang berada dibawah wewenangnya dan “I.e.a.s” juga membentuk pusat pertemuan guru-guru sebagai tempat bagi mereka untuk bekerja menyusun dan mengembangkan kurikulum serta kegiatan inservice training.[8]

            Dari segi kurikulum, sekolah-sekolah di Inggris menggunakan kurikulum nasional (National Cuuiculum). Kurikulum nasional ditentukan oleh Dewan Pengembangan Kurikulum Sekolah (School Curriculum Development Council –SCDC) khususnya untuk sekolah pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Semula dewan pengembang kurikulum masih menjadi satu dengan dewan ujian nasioal, yakni dalam satu wadah yang bernama The School Council for Curriculum and Examinations, namun sejak tahun 1982 lembaga tersebut dipecah menjadi dua.

            Dewan pengembang Kurikulum sekolah tidak mudah dan seenaknya saja mengganti kurikulum pendidikan. Pendidikan kurikulum akan selalu melibatkan banyak pakar yang sungguh berkompeten dibidangnya. Mereka menjunjung tinggi warisan tradisi keilmuwan mereka yang sangat kuat berakar. Materi pokok yang mereka anggap bagus sejak 100  tahun lalu akan dipertahankan sampai kapanpun. Sementara bidang-bidang baru yang akan diajukan untuk dimasukkan ke dalam kurikulum nasional harus melewati prosedur yang panjang.

            Prosedur tersebut dimulai dari usulan kepala sekolah disuatu wilayah yang didukung oleh beberapa sekolah lainya., lalu bersama-sama mereka mengajukan ke The Office for Standars in Education, Children’s Service and skill (OFSTEAD). Kantor ini bersifat semi otonom, karena tidak dibawahi oleh pemerintah melainkan berdiri mandiri dibawah penujukkan Queen Elizabeth.  Selanjutnya OFSTEAD akan mengajak School Curriculum Development Council (SDDC) untuk mengembangkan kurikulum. Hasilkan kemudian diusulkan oleh OFSTEAD kepada menteri pendidikan. Setelah menteri pendidikan menerima hal yang sama akan terjadi kembali, Menteri akan menyampaikan rencana perubahan kurikulum nasional ke jenjang struktural di bawahnya hingga sampai ke kepala sekolah. Prosedur memakaan wakty sekitar satu tahun. Prosedur ini ternyata sangat birokratis namun sekaligus memperhatikan tertib organisasi yang mereka jalankan. Dengan demikian prosedur yang mereka jalankan meperlihatkan adanya pola bottom up dalam pembaharuan kurikulum di Inggris. Pembaharuan kurikulum pendidikan itu diusulkan dari kar rumput yaitu para ujung tomak penyelenggara pendidikan.

            Kurikulum nasional yang disusun oleh OFSTEAD bersama dengan SCDC berisi 12 pelajaran. Pelajaran inti  (the core subjects) adalah English, mathematics, dan Science yang wajib dipelajari oleh siswa umur 5 sampai 15 tahun. Mata pelajaran lain yang wajib dipilih satu atau lebih untuk dipelajari para siswa adalah : Art & design, Citizenship, design & Technology, Geography, History, Information & communication Technology, modern Foreign Languages, Music, dan terakhir dalah Physical Education. Seringkali sekolah menambah pelajaran selain yang berada diatas. Adapun pelajaran yang diajarkan di sekolah tetapi tidak diatur dalam undang-undang negara adalah pelajaran: Religious Education, Career Education, dan sex Education.

          Pada jenjang pendidikan tinggi terdapa program pasca sarjana yang dapat diikuti oleh lulusan ujian A-Levels atau lulus dari Sixth From Collages. Seseorang yang telah lulus tadi akan dengan mudah bisa masuk perguruan tinggi dan menjadi mahasiwa selama tiga atau empat tahun. Mereka yang masuk PT telah berumur 18 tahun, sedangkan untuk calon mahasiswa internasional harus dapat fasih berbahasa inggris dengan skor nilai minimal TOEFL 550 dan IELTS 6.0.

            Tahun ajaran PT di Inggris dibagi dalam dua atau tiga term. Mahasiswa mengambil jurusan yang sesuai dengan minat yang ingin dipelajari dan dikembangkanya. Gelar sarjana akan diberikan jika mereka telah menyelesaikanya. Program pasca sarjana dapat diikuti oleh mereka yang telah lulus sarjana. Umumnya berusia diatas 21 tahun. Program pasca sarjana ditempuh dalam waktu 2 tahun . mahasiswa harus menyelesaikan tugas mata kuliah, menulis tesis, dan mengikuti ujian akhir. Mahasiswa pasca sarjana dapat meneruskan program doktor atau phD. Gelar master atau MBA dianugerahkan setelah usai menempuh seluruh mata kuliah, tesis, dan ujian akhir. Gelar pasca sarjana tradisional biasanya di bidang “Arts” dengan sebutan (MA), sedangkan dibidang “Science” dengan sebutan (MSc).[9]

 

2.      Kebijakan Pendidikan Di Jepang 

 Tujuan pendidikan Jepang lebih mengarah pada pengembangan kepribadian individu secara utuh, menanamkan jiwa yang bebas dan bertanggungjawab, bertoleransi untuk menghargai antar individu. Dapat ditarik kesimpulan bahwa prinsip pendidikan yang ada di negara Jepang lebih bersifat  humanis bekaitan dengan kehidupan sehari-hari dan ilmunya benar-benar real dapat diaplikasikan dan dibutuhkan di kehidupan nyata.

Negara Jepang merupakan negara yang sukses dalam memajukan pendidikannya terlihat pada pengaturan sistem pendidikannya yang tertata dengan baik dimana seluruh lembaganya berkerjasama dan melaksanakan peranannya masing-masing secara optimal mulai dari lembaga administrasi, lembaga pendidikan, lembaga pengawas kurikulum dll. Serta adanya dukungan yang baik antara pemerintah, kepala sekolah, guru, murid dan orang tua yang turut berperan terhadap majunya pendidikan di negara tersebut. Kerjasama yang baik antar seluruh komponen negara inilah yang mampu membawa kesuksesan negara Jepang hingga mampu mencapai seluruh tujuan-tujuan pendidikan yang dicanangkannya kurang dari 25 tahun dan tercatat sebagai negara dengan kualitas dan sistem pendidikan terbaik se-Asia, sungguh prestasi yang mengagumkan.

  Pendidikan wajib yang diberikan secara gratis di negara tersebut menandakan bahwa pemerintahan disana memang amat memperdulikan Sumber Daya Manusia di negaranya dan menjadi bukti bahwa sistem administrasi negara Jepang memang berjalan dengan baik dan bertanggungjawab terhadap pemenuhan kebutuhan negaranya termasuk memfasilitasi sarana dan prasarana yang bermutu dalam proses belajar menagajar.

 Budaya disiplin waktu dan kerja keras negara Jepang yang sejak dahulu diajarkan dari leluhur-leluhur mereka selalu mereka tanamkan di dalam kehidupan sehari-hari turut berpengaruh pada kemajuan negara ini.

Kesuksesan dari negara maju inilah yang patut kita contoh bagi negara kita dimana harus ada kerjasama yang baik antar berbagai sistem yang ada di negara terutama sistem pendidikan yang kaitannya dengan peningkatan kualitas manusia. Apabila sistem-sistem tersebut berjalan dengan baik maka kemajuan suatu negara akan tercapai dan yang teramat penting perlu adanya pembinaan moral yang baik dalam setiap individu-individu suatu negara karena awal dari kesuksesan diawali dari karakteristik pribadi suatu bangsa.

 

3.      Kebijakan Pendidikan Di Australia 

Suatu kecenderungan pada semua sistem sekolah negeri di Australia semenjak awal 1970-an adalah pendelegasian tanggung jawab kurikulum kepada sekolah-sekolah. Pada beberapa Negara bagian, pedoman kurikulum dibuat terpusat, tetapi sekolah-sekolah dapat mengadaptasikannya untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan lokal.

Pada Negara bagian yang lain, pejabat-pejabat di pusat menyusun tujuan umum dan sekolah menjabarkannya ke dalam bentuk kurikulum yang rinci, tetapi tetap berada dalam kerangka tujuan umum yang telah ditetapkan. Pengecualian yang agak besar terjadi pada kurikulum sekolah menengah untuk kelas-kelas terakhir. Detail kurikulum disusun secara terpusat untuk kepentingan ujian eksternal. Pada kedua territoriesthe Australian Capital Teritori(ACT) dan Northern Teritory, sekolah relative memiliki otonomi yang lebih luas dan dapat mengembangkan kurikulumnya atas dasar tujuan umum yang telah ditentukan di tingkat sekolah[2]. 

Terdapat variasi dalam hal tanggung jawab pengembangan kurikulum di setiap Negara bagian, maka terdapat pula perbedaan dalam pengimplementasiannya. Dalam hal kurikulum disusun berdasarkan pedoman dan materi pelajaran dari pusat, pejabat-pejabat senior dari pusat secara teratur mengunjungi sekolah-sekolah antara lain untuk memonitor pelaksanaan kurikulum[3].

Di Australia terdapat tes bagi siswa yang berlaku secara nasional, Australia menyelenggarakan NAPLAN (National Assessment Program-Literacy and Numeracy). Setiap tahunnya, semua siswa yang berada pada tahun 3, 5, 7, dan 9 melakukan tes pada hari yang sama. Materi tes tersebut meliputi membaca, menulis, bahasa (mengeja, tata bahasa, dan pemberian tanda baca), dan perhitungan.

     Untuk setiap sekolah juga melaksanakan ujian tapi ujian tersebut tidak mempengaruhi naik atau tidaknya seorang pelajar kekelas/ketahap selanjutnya. Karena kenaikan kelas otomatis menyesuaikan umur pelajar.

Pertama, dinamika perubahan sosial masyarakat Amerika Serikat yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir sangat mempengaruhi pendidikan, mulai dari tingkat prasekolah sampai ke perguruan tinggi. Sebagai hasil emansipasi yang sejak lama diperjuangkan di Amerika, hampir semua wanita sudah mendapat pendidikan yang sama dengan pria, dan selanjutnya kebanyakan wanita sudah mendapat tempat yang sangat luas dalam lapangan kerja, baik mereka yang belum berkeluarga maupun yang sudah.

Kedua, masyarakat Amerika Serikat saat ini dihadapkan pula pada masalah tingkat perceraian keluarga yang sangat tinggi, mungkin yang tertinggi di antara negara-negara di dunia. Akibatnya adalah makin banyak anak-anak yang hidup atau tinggal dengan satu orang tua (umumnya dengan ibu), yang mau tidak mau harus bekerja untuk hidup mereka. Banyak di antara ibu-ibu yang berprofesi rendah atau kasar. Ada yang berpenghasilan sedikit di atas garis batas kemiskinan, dan bahkan ada yang harus mendapat bantuan dari pihak pemerintah.

Ketiga, sistem pendidkan Ameriak Serikat memeliki berbagai badan-badan resmi yang berfungsi sebagai instrumen monitoring dan evaluasi pendidikan. Badan-badan itu antar lain: The National Assessment of Educational Progress (NAEP), The Office of Educational Research and Improvement (OERI), The National Center of Educational Statistics (NCES), The Office for Programs for Improvement of Practice (OPIP), dan The Office of Library Programs (OLP). Berdasarkan hasil penelitian dan informasi yang dikumpulkan diketahui bahwa kualitas pendidikan Amerika Serikat mengalami kemunduran yang cukup serius, dan hal ini telah menjadi isu yang sangat hangat yang dipublikasikan oleh berbagai media massa semenjak tahun 1980-an.[8]

 

4.      Kebijakan Pendidikan di Amerika Serikat

Ada ketentuan dan aturan pemerintah federal mengenai kelompok-kelompok minoritas rasial dan orang-orang cacat. Pemerintah federal juga mendukung penelitian pendidikan. Tetapi Amerika Serikat tidak mempunyai sistem pendidikan yang terpusat atau yang bersifat nasional. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa pemerintah federal tidak memberikan arah dan pengaruhnya terhadap masalah-masalah pendidikan. Sesungguhnya, ketiga badan legislatif, judikatif, dan eksekutif federal sangat aktif dalam proses pembuatan keputusan mengenai pendidikan, terutama setelah Perang Dunia II. Pemerintah federal ikut mengupayakan menghilangkan sistem sekolah yang memisah-misahkan sekolah berdasarkan ras, khususnya antara anak-anak dari ras kulit hitam dan ras kulit putih; menyamakan alokasi pendanaan sekolah; menyediakan akses pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin dan pendidikan bagi anak-anak penyandang cacat, dan juga berupaya memenuhi tuntutan atas pendidikan yang berkualitas serta tuntutan atas akuntabilitas sekolah. Partisipasi ini tidak berarti bahwa ada sistem pendidikan federal. Itu hanya berbagai cara bagaimana pemerintah federal bisa memberikan pengaruhnya dalam menentukan kebijakan pendidikan.

Kebijakan utama mengenai pendidikan berada pada pemerintah negara bagian dan daerah. Terdapat 50 negara bagian dan 15,358 distrik, dan sebanyak itu local school boards, yang masing-masingnya mempunyai aturan dan sistem pendidikan. Sungguhpun demikian, tujuan sistem pendidikan Amerika secara umum dirumuskan sebagai berikut[7]:

  1. Untuk mencapi kesatuan dalam kebinekaan
  2. Untuk mengembangkan cita-cita dan praktek demokrasi
  3. Untuk membantu pengembangan individu
  4. Untuk memperbaiki kondisi sosial masyarakat
  5. Untuk mempercepat kemajuan nasional.

Isu-isu Pendidikan

Pertama, dinamika perubahan sosial masyarakat Amerika Serikat yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir sangat mempengaruhi pendidikan, mulai dari tingkat prasekolah sampai ke perguruan tinggi. Sebagai hasil emansipasi yang sejak lama diperjuangkan di Amerika, hampir semua wanita sudah mendapat pendidikan yang sama dengan pria, dan selanjutnya kebanyakan wanita sudah mendapat tempat yang sangat luas dalam lapangan kerja, baik mereka yang belum berkeluarga maupun yang sudah.

Kedua, masyarakat Amerika Serikat saat ini dihadapkan pula pada masalah tingkat perceraian keluarga yang sangat tinggi, mungkin yang tertinggi di antara negara-negara di dunia. Akibatnya adalah makin banyak anak-anak yang hidup atau tinggal dengan satu orang tua (umumnya dengan ibu), yang mau tidak mau harus bekerja untuk hidup mereka. Banyak di antara ibu-ibu yang berprofesi rendah atau kasar. Ada yang berpenghasilan sedikit di atas garis batas kemiskinan, dan bahkan ada yang harus mendapat bantuan dari pihak pemerintah.

Ketiga, sistem pendidkan Ameriak Serikat memeliki berbagai badan-badan resmi yang berfungsi sebagai instrumen monitoring dan evaluasi pendidikan. Badan-badan itu antar lain: The National Assessment of Educational Progress (NAEP), The Office of Educational Research and Improvement (OERI), The National Center of Educational Statistics (NCES), The Office for Programs for Improvement of Practice (OPIP), dan The Office of Library Programs (OLP). Berdasarkan hasil penelitian dan informasi yang dikumpulkan diketahui bahwa kualitas pendidikan Amerika Serikat mengalami kemunduran yang cukup serius, dan hal ini telah menjadi isu yang sangat hangat yang dipublikasikan oleh berbagai media massa semenjak tahun 1980-an.[8]

 

 

5. Kebijakan Pendidikan di Jerman

Berdasarkan sejarah pendidikan di Jerman berasal dari dua sumber yaitu gereja dan negara. Sudah menjadi tradisi semenjak awal abad pertengahan bahwa gereja selalu terlibat dalam pendidikan, sedangkan the lander (asal mula kekuasaan daerah) selalu pula mengatakan bahwa merekalah yang bertanggungjawab atas pendidikan. Pengumuman resmi wajib belajar pada beberapa daerah semenjak akhir abad ke-17 dapat diangggap sebagai penanda resmi bahwa pendidikan adalah tanggung jawab negara. Semenjak itu, pengaruh gereja secara umum mulai berkurang. Maka masalah pendidikan mulai saat itu terletak terutama pada kekuatan politik, para guru, orang tua siswa/ mahasiswa sebagai kelompok yang langsung terlibat untuk menentukan keadaan pendidikan serta perubahan-perubahan dalam sistem pendidikan.

Pemerintah negara bagian (state) yang sosial demokrat cenderung untuk menempatkan pendidikan sebagai hak azazi dengan penekanan pada: usaha pendidikan itu atas inisiatif sendiri, persamaan dan tindakan pengimbalan, sementara pihak kristen demokrat konservatif menginginkan tujuan dan kegiatan pendidikan itu bersifat kolektif untuk kepentingan masyarakat seperti penyiapan lulusan yang berkualitas.

Maka dalam konstitusi negara (baru) serta dalam pembukaan undang-undang tentang sekolah khusus dan universitas ditetapkan tujuan umum pendidikan dengan tekanan pada pengembangan indivisualitas dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat.

Politik pendidikan dan formulasi tujuan merupakan topik yang hangat dalam kelompok republik demokrasi. Tahun 1949 pejabat administrasi memoloskan undang-undang mengenai pendirian : ”Sekolah Persatuan Demokrasi”. Dengan maksud untuk menghalangi monopoli pendidikan kelas masyarakat golongan atas, dan juga menjamin terbukanya kesempatan bagi masyarakat miskin. Lebih dari 2/3 guru-guru yang bertugas di bawah partai sosialis nasionalis diganti dengan guru-guru yang telah mendapatkan pendidikan jangka pendek. Kecocokan dengan peraturan komunis maka berlangsunglah model soviet seperti prinsip ”pengajaran politeknik” dengan tujuan membentuk pribadi sosial.

Tujuan pendidikan di Jerman yang dinyatakan dalam undang-undang adalah :

1)   Untuk membentuk individu yang maju secara fisik, moral dan intelektual

2)   Untuk membentuk manusia yang kreatif secara sosial yang memiliki minat terhadap sajak bagaimana terhadap matematika dan ekonomi.

 

6.    Kebijakan Pendidikan di Swedia

Sistem pendidikan di Swedia yang dapat diterapkan di Indonesia pada tingkat pendidikan menengah adalah' yrkesutbildning'  atau 'vocational education'. Swedia emiliki 'yrkesutbildning' pada tingkat 'gymnasiet' atau sekolah menengah, dan dilanjutkan ke tingkat 'yrkeshögskolan'. Tujuan dari pendidikan ini adalah mempersiapkan tenaga kerja terampil siap kerja untuk level operasional dan administrasi.

Indonesia pun sebenarnya telah menerapkan sistem pendidikan yang sama, antara lain sekolah menengah kejuruan (SMK) dan program pendidikan diploma satu, dua, dan tiga (D1, D2, D3). Namun,pelajar Indonesia kurang menaruh minat karena minimnya gaji yang didapat oleh lulusan program pendidikan ini jika dibandingkan dengan lulusan sarjana. Pemerintah maupun lembaga penyelenggara pendidikan juga seringkali menganaktirikan 'vocational education' dengan minimnya alokasi dana untuk program pendidikan ini. Faktor lain yang menyebabkan 'vocational education'kurang berkembang di Indonesia adalah kurangnya kesadaran masyarakat bahwa semakin banyak lulusan yang berperan serta langsung di sektor industri akan turut pula mempercepat laju pertumbuhan ekonomi.

Secara umum, pada tingkat pendidikan tinggi, terdapat dua jalur pendidikan yang bisa ditempuh di Swedia, yaitu Universitet dan Högskolan. Berbeda dengan Högskolan yang lebih menjurus ke bidang tertentu(di Indonesia dikenal dengan Sekolah Tinggi/Institut), seperti teknik (Tekniska Högskola)danekonomi (Handelshögskola), Universitet memiliki cakupan yang lebih luas dan melingkupi beberapa disiplin ilmu. Dalam perkembangannya, sebuah Högskolan bisa memperluas kompetensi ilmiahnya dan bermetamorfosis menjadi Universitet.

Namun, tidak semua Tekniska Högskola memiliki pola administrasi yang sama. Misalnya, LTH (Lund Tekniska Högskola) masih berdiri di bawah Lund Universitet. Artinya, fakultas engineernya  dijalankan di bawah LTH yang memiliki administrasi sendiri, tetapi masih berkoordinasi dengan Lund Universitet.

Setelah seorang siswa menamatkan pendidikan di Gymnasiet (setingkat Sekolah Menengah Umum (SMU)), dengan mengikutiBologna process yaitu  SMU+3 (180 ETCS), maka siswa tersebut akan diberikan kesempatan untuk meneruskan pendidikan tiga tahun di bangku universitas dan kemudian bisa langsung masuk ke dunia kerja (setingkat bachelor degree/S1). Opsi kedua adalah lulus dari pendidikan tingkatan bachelor dan menambah dua tahun masa studi untuk mendapatkan gelar master (S2).Untuk jurusan teknik, misalnya, setelah menyelesaikan lima tahun kuliah, mahasiswa akan mendapatkan gelar “Civilingenjör”. Gelar tersebut masih diberikan meskipun Swedia sudah mengadopsi sistem Bologna. Hal ini sepertinya hanya diaplikasikan secara internal di Swedia untuk masa transisi dan tidak berpengaruh terhadap mahasiswa asing.

Sementara itu,pendidikan S3 dijalankan dengan dua jalur penerimaan.Vacancy PhD adalah jalur untuk merekrut mahasiswa berdasarkan kebutuhan universitas akan penelitian yang sedang dijalankan dan industrial PhD adalah jalur untuk mahasiswa yang memenuhi kebutuhan pendanaan secara mandiri. Dengan sistem employment, seorang PhD student tidak perlu membayar biaya studi/penelitian apa pun selama menjalani pendidikan. Mereka justru akan mendapatkan standar gaji yang ditetapkan bersama dengan Labor Union. Standar gaji tersebut akan cenderung meningkat seiring dengan terselesaikannya masa pendidikan doktoral yang diambil. Sebagai contoh, seorang mahasiswa PhD tingkat awal yang mendapatkan 18.000 SEK akan mendapatkan kenaikan gaji sebesar 24.000 SEK setelah level licentiate dan akan menjadi 30.000 SEK setelah lulus S3 dan melanjutkan jenjang post doctoral. (1 SEK=0.1 EUR)\Di Swedia juga terdapat licenciate degree yang dapat ditempuh seorang mahasiswa Master dengan menambah dua tahun masa studi.  Bagi sektor industri Swedia, gelar setengah PhD ini cukup efektif untuk mempercepat laju kemajuan karier.

Uniknya, kurikulum yang diadopsi oleh beberapa universitas di Swedia tidak bersifat baku. Mahasiswa dapat memilih dengan bebas mata kuliah yang diinginkan asalkan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan universitas. Secara umum, mata kuliah yang ditawarkan terdiri atas empat level, yakni  level A, B, C, dan D. Level A dan B tergolong dalam basic level, sedangkan C dan D tergolong advanced level yang dikhususkan bagi mahasiswa yang ingin mendalami mata kuliah tertentu. 

Masa studi hampir semua program master internasional berdurasi dua tahun. Namun, beberapa universitas, seperti Lund University dan Dalarna University, memiliki  pilihan program master satu tahun (60 credits) atau dua tahun (120 credits) untuk gelar yang sama, terutama untuk bidang non science engineering.

Beberapa universitas di Indonesia juga melakukan kerja sama U2U (university to university) dengan universitas-universitas di Swedia. Misalnya, master program - exchange di Karlstad University bisa ditempuh dalam waktu satu tahun.Demikian juga program kerja sama antara UGM dan Chalmers untuk beberapa program di bidang Teknik Kimia.

 

7.    Kebijakan Pendidikan di Prancis

 

Prancis adalah tergolong Negara yang telah maju industrinya dari antara Negara maju di barat lainnya. Problema-problema yang di rasa belum dapat di selesaikan secara tuntas ialah yang menyangkut masalah kependidikan dari abad kea bad. 

Prancis modern adalah prancis yang dimulai dari pendirian Repoblik Ketiga. Repoblik ketiga didirikan oleh elmen-elemen repoblik populasi setelah pasukan prusia dibawah pimpinan Bismarck menghancurkan Kekaisaran kedua pada 1870. Sebelumnya sudah ada dua system pemerintahan dalam bentuk repoblik. Ketiga system pemerintahan repoblik mendapat rentangan dari kaum monarki yang tetap setia pada teori bahwa kekuasaan adalh takdir dari Tuhanm. Kaum monarki menghimpun kekuatan dari pendukung keturunan bangsawan dan kalangan hararki Gereja Katholik Roma. Kedua kelompok ini telah memperlihatkan tendensi reaksioner kuat yang sesekali berhasil membatasi suara rakyat, keduanya tampil untuk mencoba mengembalikan pemerintahan monarki absolute. Maka, tak heran jika keduanya sama-sama tidak mendukung pendidikan umum yang bebas.

Dibawah pemerintahan Repoblik ketiga, lycee dan fakultas unuversitas negeri di ambil alih untuk membentuk inti system sekolah menengah yang bertujuan menemukan dan menghasilkan calon-calon pemimpin. Kendati teori warisan status kelas telah di tolak, system pendidikan masih sangat selektif. System tersebut sudah memisahkan anak-anak menjadi dua kelas sejak hari pertama mereka masuk sekolah. Akhirnya, hak pilih dijadikan universal bahkan wanita berhak memilih setelah perang dunia II, tetapi biaya pendidikan di sekolah menengah tetap melanggengkan diskriminasi kelas.

 

 

 

 


 

BAB IV

KESIMPULAN

 

Sistem pendidikan di tujuh negara ini dapat beradaptasi dengan baik dengan peningkatan tantangan sosial. Tingkat usia sekolah di kebanyakan negara meningkat hingga sekitar 16 tahun, di Jerman Barat dan di California ditemukan fakta bahwa 100% warga berusia 17 hingga 18 tahun melanjutkan pendidikannya. Pada waktu yang sama, ekonomi dan peningkatan standar hidup yang terjadi di Jepang Jerman Barat dan Prancis menimbulkan depresi yang memicu turunnya anggaran pendidikan dan memperburuk situasi.

Buku ini dipandang masih ringkas dan masih tidak mungkin untuk menyajikan banyak aspek kompleks dalam kebijakan pendidikan yang dialami oleh setiap negara. Beberapa bidang tidak disebutkan sama sekali, misalnya mengenai kesetaraan gender, kebijakan terkait pelajar berkebutuhan khusus, dan sebagainya. Tidak mungkin pula buku ini mengangkat etos pendidikan lokal seperti Australia dengan sistem isolasi geografis, ketertutupan sistem pendidikan Jepang, dan berkembangnya tema kesetaraan dan demokrasi di Swedia dan Amerika.

Masih perlu penjabaran lebih lanjut mengenai bagaimana kebijakan di setiap negara harus menyelesaikan berbagai masalah kompleks, bagaimana menetapkan prioritas dan menyikapi target-target yang saling tumpang tindih. Buku ini diharapkan dapat menyumbang petunjuk untuk menjawab keingintahuan mengenai kebijakan pendidikan pada periode tersebut dan menjadi semacam pedoman untuk diperhatikan dalam merespon isu isu di masa depan.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

  Hough  J. R.,  1984.   Educational Policy  (an international survey) . Croom Helm. Australia

Nur, Agustiar Syah, 2002, Prof.Dr.Drs.H.MA, Perbandingan Sistem Pendidikan 15 Negara, Cetakan I, Bandung, Lubuk Agung, 

 M. Arifin, Ilmu Perbandingan Pendidikan, (Jakarta: Golden Terayon Press, 2003),

 

http://www.psb-psma.org/content/blog/sistem-pendidikan-di-perancis

 

Sarumpeat, J. P., Perbandingan Pendidikan, (Jakarta: Djambatan, 1974), h. 8

 

NN. 2010. Sistem Pendidikan Jepang. Melalui :http://yardapoteker.wordpress.com/2010/03/15/sistem-pendidikan-jepang/ [2010/03/15]


 

0 comments:

Posting Komentar