Abstrak
Generasi Alpha (lahir 2010-2025) adalah
generasi digital native pertama yang hidup dalam ekosistem teknologi canggih
sejak lahir. Makalah ini bertujuan mengeksplorasi karakteristik unik Generasi
Alpha, tantangan sistem pendidikan konvensional, dan merancang model
pembelajaran inovatif berbasis teknologi. Melalui studi literatur dan analisis
komparatif, penelitian ini menyimpulkan perlunya integrasi metode blended
learning, gamifikasi, dan pendekatan personalisasi untuk menciptakan lingkungan
belajar yang adaptif. Rekomendasi mencakup peningkatan kompetensi guru,
kolaborasi multisektor, dan kebijakan pendidikan berbasis data.
Pendahuluan
Latar Belakang
Generasi Alpha merupakan generasi yang lahir di
tengah disrupsi teknologi, di mana 90% anak usia 6-12 tahun di Indonesia telah
menggunakan smartphone (APJII, 2022). Mereka tidak hanya mengonsumsi teknologi,
tetapi juga memengaruhi budaya, pola pikir, dan cara belajar. Sistem pendidikan
konvensional yang masih mengandalkan metode satu arah (ceramah) dan kurikulum
kaku terbukti kurang efektif memenuhi kebutuhan generasi ini. Survei PISA 2022
menunjukkan Indonesia menempati peringkat ke-74 dari 81 negara dalam literasi
digital, mengindikasikan urgensi transformasi pendidikan.
Menurut Prensky (2001), Generasi Alpha
tergolong sebagai "digital natives", yaitu individu yang sejak kecil
telah terbiasa dengan teknologi digital dan memiliki cara berpikir serta
belajar yang berbeda dibanding generasi sebelumnya. Sementara itu, Tapscott
(2009) menambahkan bahwa generasi yang lahir di era digital memiliki
karakteristik lebih mandiri dalam mencari informasi, mengutamakan kolaborasi,
dan membutuhkan pengalaman belajar yang lebih interaktif.
Rumusan Masalah
- Bagaimana karakteristik Generasi Alpha
memengaruhi preferensi belajar?
- Apa kelemahan sistem pendidikan
konvensional dalam menjawab kebutuhan Gen Alpha?
- Model pembelajaran seperti apa yang
efektif untuk mempersiapkan Gen Alpha menghadapi masa depan?
Tujuan
Menyusun kerangka model pembelajaran berbasis
teknologi yang holistik, relevan dengan karakteristik Gen Alpha, dan mendukung
pengembangan kompetensi abad ke-21.
Generasi Alpha adalah kelompok individu yang
lahir antara tahun 2010 hingga 2025, menjadikannya generasi pertama yang
benar-benar hidup dalam ekosistem digital sejak lahir. Mereka tidak hanya
menjadi pengguna teknologi, tetapi juga sangat bergantung pada perangkat
digital untuk belajar, bermain, dan bersosialisasi. Para ahli seperti McCrindle
& Fell (2020) menggambarkan Generasi Alpha sebagai "the most
technologically immersed generation", yang berarti mereka
memiliki keterampilan digital yang lebih maju dibandingkan generasi sebelumnya.
Karakteristik Unik Generasi Alpha
Beberapa ciri khas Generasi Alpha yang
membedakannya dari generasi sebelumnya, terutama dalam hal cara belajar dan
berinteraksi dengan dunia, antara lain:
1. Digital Natives Sejati
Generasi Alpha tumbuh dengan
akses instan ke teknologi, internet, dan media sosial. Mereka lebih nyaman
dengan layar sentuh daripada buku fisik dan lebih mudah memahami konten
berbasis visual seperti video atau infografis dibandingkan teks panjang.
Prensky (2001) menyebut generasi ini sebagai digital natives karena
mereka lahir dalam era digital dan teknologi menjadi bagian integral dari
kehidupan mereka.
2. Multitasking dan Interaktif
Jika generasi sebelumnya lebih
terbiasa belajar secara linear melalui buku teks dan ceramah guru, Generasi
Alpha terbiasa melakukan banyak tugas sekaligus (multitasking). Mereka
dapat menonton video pembelajaran di YouTube sambil berdiskusi dengan teman di
WhatsApp atau bermain gim edukatif. Studi yang dilakukan oleh Microsoft (2015)
menunjukkan bahwa rentang perhatian manusia telah menurun menjadi sekitar 8
detik akibat paparan teknologi yang terus-menerus, sehingga metode pembelajaran
yang terlalu panjang dan monoton tidak lagi efektif bagi generasi ini.
3. Lebih Visual dan Berorientasi pada Pengalaman
Dibandingkan dengan membaca
buku teks yang panjang, Generasi Alpha lebih suka mendapatkan informasi dari
sumber yang interaktif dan visual, seperti video animasi, simulasi, dan gim
edukatif. Penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center (2022)
menunjukkan bahwa 75% anak-anak lebih memahami konsep baru melalui video edukatif
dibandingkan dengan membaca teks akademik.
4. Pembelajar Mandiri dan Berbasis Eksplorasi
Berbeda dengan generasi
sebelumnya yang mengandalkan guru dan buku pelajaran sebagai sumber utama
informasi, Generasi Alpha cenderung mencari sendiri jawaban atas pertanyaan
mereka. Dengan adanya platform seperti Google, YouTube, dan aplikasi
pembelajaran interaktif, mereka lebih mandiri dalam mengeksplorasi ilmu
pengetahuan. Menurut penelitian Fullan (2022), Generasi Alpha lebih tertarik
pada pembelajaran yang berbasis proyek (project-based learning) yang
memungkinkan mereka mengeksplorasi dan menciptakan sesuatu dibandingkan dengan
metode ceramah satu arah.
5. Terbiasa dengan Kecerdasan Buatan (AI) dan Automasi
Teknologi kecerdasan buatan
(AI) telah menjadi bagian dari kehidupan Generasi Alpha, mulai dari asisten
virtual seperti Siri dan Alexa hingga sistem rekomendasi dalam platform digital
seperti YouTube Kids dan Netflix. Hal ini menjadikan mereka lebih terbuka
terhadap pembelajaran berbasis AI dan teknologi adaptif yang dapat menyesuaikan
materi berdasarkan kebutuhan dan minat individu.
6.
Memiliki Ekspektasi Tinggi
terhadap Teknologi dalam Pendidikan
Generasi Alpha mengharapkan pengalaman belajar yang serupa dengan hiburan
digital yang mereka konsumsi sehari-hari. Jika metode pembelajaran terasa
membosankan, mereka akan kehilangan minat dengan cepat. Penelitian dari Harvard
Graduate School of Education (2023) menyebutkan bahwa generasi ini lebih
responsif terhadap pembelajaran yang bersifat imersif, seperti Virtual Reality
(VR), Augmented Reality (AR), dan gamifikasi.
Implikasi bagi Pendidikan
Karakteristik unik Generasi Alpha memiliki
konsekuensi besar terhadap cara sistem pendidikan harus beradaptasi. Model
pendidikan tradisional yang hanya mengandalkan ceramah di kelas tidak akan
cukup untuk memenuhi kebutuhan generasi ini. Oleh karena itu, diperlukan
pendekatan baru yang lebih personal, interaktif, dan berbasis teknologi. Jika
pendidikan tidak beradaptasi, ada risiko besar bahwa anak-anak Generasi Alpha
akan kehilangan minat dalam belajar, mengalami kesenjangan digital, atau bahkan
lebih bergantung pada informasi yang kurang valid di internet.
Sebagai pendidik, kita harus menerima kenyataan
bahwa cara belajar Generasi Alpha berbeda dengan generasi sebelumnya. Sistem
pendidikan harus mengakomodasi karakteristik unik mereka dengan
mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran, menciptakan lingkungan yang
lebih interaktif, serta memanfaatkan metode yang lebih personal dan berbasis
eksplorasi. Kurikulum yang kaku dan berbasis hafalan tidak akan lagi relevan.
Jika perubahan ini tidak segera dilakukan, maka pendidikan akan semakin
tertinggal dari perkembangan zaman, dan Generasi Alpha akan lebih memilih
belajar dari sumber di luar sekolah formal.
Generasi Alpha adalah kelompok individu yang
lahir antara tahun 2010 hingga 2025, menjadikannya generasi pertama yang
benar-benar hidup dalam ekosistem digital sejak lahir. Mereka tidak hanya
menjadi pengguna teknologi, tetapi juga sangat bergantung pada perangkat
digital untuk belajar, bermain, dan bersosialisasi. Para ahli seperti McCrindle
& Fell (2020) menggambarkan Generasi Alpha sebagai "the most
technologically immersed generation", yang berarti mereka
memiliki keterampilan digital yang lebih maju dibandingkan generasi sebelumnya.
Karakteristik Unik Generasi Alpha
Beberapa ciri khas Generasi Alpha yang
membedakannya dari generasi sebelumnya, terutama dalam hal cara belajar dan
berinteraksi dengan dunia, antara lain:
1.
Digital
Natives Sejati
Generasi Alpha tumbuh dengan
akses instan ke teknologi, internet, dan media sosial. Mereka lebih nyaman
dengan layar sentuh daripada buku fisik dan lebih mudah memahami konten
berbasis visual seperti video atau infografis dibandingkan teks panjang.
Prensky (2001) menyebut generasi ini sebagai digital natives karena
mereka lahir dalam era digital dan teknologi menjadi bagian integral dari
kehidupan mereka.
2.
Multitasking
dan Interaktif
Jika generasi sebelumnya lebih
terbiasa belajar secara linear melalui buku teks dan ceramah guru, Generasi
Alpha terbiasa melakukan banyak tugas sekaligus (multitasking). Mereka
dapat menonton video pembelajaran di YouTube sambil berdiskusi dengan teman di
WhatsApp atau bermain gim edukatif. Studi yang dilakukan oleh Microsoft (2015)
menunjukkan bahwa rentang perhatian manusia telah menurun menjadi sekitar 8
detik akibat paparan teknologi yang terus-menerus, sehingga metode pembelajaran
yang terlalu panjang dan monoton tidak lagi efektif bagi generasi ini.
3.
Lebih
Visual dan Berorientasi pada Pengalaman
Dibandingkan dengan membaca
buku teks yang panjang, Generasi Alpha lebih suka mendapatkan informasi dari
sumber yang interaktif dan visual, seperti video animasi, simulasi, dan gim
edukatif. Penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center (2022)
menunjukkan bahwa 75% anak-anak lebih memahami konsep baru melalui video
edukatif dibandingkan dengan membaca teks akademik.
4.
Pembelajar
Mandiri dan Berbasis Eksplorasi
Berbeda dengan generasi
sebelumnya yang mengandalkan guru dan buku pelajaran sebagai sumber utama
informasi, Generasi Alpha cenderung mencari sendiri jawaban atas pertanyaan
mereka. Dengan adanya platform seperti Google, YouTube, dan aplikasi
pembelajaran interaktif, mereka lebih mandiri dalam mengeksplorasi ilmu
pengetahuan. Menurut penelitian Fullan (2022), Generasi Alpha lebih tertarik
pada pembelajaran yang berbasis proyek (project-based learning) yang
memungkinkan mereka mengeksplorasi dan menciptakan sesuatu dibandingkan dengan
metode ceramah satu arah.
5.
Terbiasa
dengan Kecerdasan Buatan (AI) dan Automasi
Teknologi kecerdasan buatan
(AI) telah menjadi bagian dari kehidupan Generasi Alpha, mulai dari asisten
virtual seperti Siri dan Alexa hingga sistem rekomendasi dalam platform digital
seperti YouTube Kids dan Netflix. Hal ini menjadikan mereka lebih terbuka
terhadap pembelajaran berbasis AI dan teknologi adaptif yang dapat menyesuaikan
materi berdasarkan kebutuhan dan minat individu.
6.
Memiliki
Ekspektasi Tinggi terhadap Teknologi dalam Pendidikan
Generasi Alpha mengharapkan
pengalaman belajar yang serupa dengan hiburan digital yang mereka konsumsi
sehari-hari. Jika metode pembelajaran terasa membosankan, mereka akan
kehilangan minat dengan cepat. Penelitian dari Harvard Graduate School of
Education (2023) menyebutkan bahwa generasi ini lebih responsif terhadap
pembelajaran yang bersifat imersif, seperti Virtual Reality (VR), Augmented
Reality (AR), dan gamifikasi.
Implikasi bagi Pendidikan
Karakteristik unik Generasi Alpha memiliki
konsekuensi besar terhadap cara sistem pendidikan harus beradaptasi. Model
pendidikan tradisional yang hanya mengandalkan ceramah di kelas tidak akan
cukup untuk memenuhi kebutuhan generasi ini. Oleh karena itu, diperlukan
pendekatan baru yang lebih personal, interaktif, dan berbasis teknologi. Jika
pendidikan tidak beradaptasi, ada risiko besar bahwa anak-anak Generasi Alpha
akan kehilangan minat dalam belajar, mengalami kesenjangan digital, atau bahkan
lebih bergantung pada informasi yang kurang valid di internet.
Sebagai pendidik, kita harus menerima kenyataan
bahwa cara belajar Generasi Alpha berbeda dengan generasi sebelumnya. Sistem
pendidikan harus mengakomodasi karakteristik unik mereka dengan
mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran, menciptakan lingkungan yang
lebih interaktif, serta memanfaatkan metode yang lebih personal dan berbasis
eksplorasi. Kurikulum yang kaku dan berbasis hafalan tidak akan lagi relevan.
Jika perubahan ini tidak segera dilakukan, maka pendidikan akan semakin
tertinggal dari perkembangan zaman, dan Generasi Alpha akan lebih memilih
belajar dari sumber di luar sekolah formal.
2. Mengapa
Pendidikan Konvensional Tidak Lagi Cukup?
Sistem pendidikan konvensional
yang telah diterapkan selama bertahun-tahun cenderung masih menggunakan metode
tradisional seperti ceramah satu arah, penilaian berbasis ujian tertulis, serta
kurikulum yang kaku dan tidak menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Meskipun metode
ini mungkin efektif bagi generasi sebelumnya, bagi Generasi Alpha, pendekatan
ini tidak lagi relevan dan sering kali membuat mereka kehilangan minat belajar.
Perbandingan
Pendidikan Konvensional dan Kebutuhan Generasi Alpha
Berikut adalah beberapa aspek yang menunjukkan ketidaksesuaian antara pendidikan konvensional dengan karakteristik Generasi Alpha:
Aspek |
Pendidikan Konvensional |
Yang Dibutuhkan Generasi Alpha |
Metode Belajar |
Ceramah satu arah, hafalan, ujian tertulis |
Pembelajaran interaktif, eksploratif, berbasis teknologi |
Sumber Belajar |
Buku teks, papan tulis |
YouTube, aplikasi edukasi, VR/AR |
Cara Berpikir |
Linear, berbasis teori |
Multitasking, berbasis visual dan pengalaman |
Penilaian |
Ujian tulis dan nilai angka |
Portofolio kreatif, proyek berbasis keterampilan |
Peran Guru |
Sumber utama informasi, pusat pembelajaran |
Fasilitator, mentor, pembimbing eksplorasi |
Kelemahan
Sistem Pendidikan Konvensional
1. Metode Pembelajaran yang Monoton dan Tidak Interaktif
Pendidikan
tradisional masih didominasi oleh metode ceramah, di mana guru menyampaikan
materi sementara siswa hanya mendengarkan dan mencatat. Metode ini tidak sesuai
dengan Generasi Alpha yang lebih terbiasa dengan pengalaman belajar berbasis
visual dan interaktif. Penelitian dari Harvard Graduate School of Education
(2023) menunjukkan bahwa siswa yang belajar melalui video interaktif memiliki
daya serap 30% lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang hanya membaca teks.
2. Kurangnya Personalisasi dalam Pembelajaran
Kurikulum yang
berlaku saat ini cenderung bersifat umum dan tidak memperhitungkan perbedaan
gaya belajar setiap siswa. Generasi Alpha lebih terbiasa dengan konten yang
dipersonalisasi, seperti rekomendasi video di YouTube atau algoritma pembelajaran
di aplikasi edukasi. Sistem pendidikan harus beradaptasi dengan pendekatan personalized
learning agar lebih efektif.
3. Penilaian Berbasis Ujian Tidak Mencerminkan Kompetensi Sebenarnya
Generasi Alpha
lebih cenderung mengembangkan keterampilan berbasis praktik daripada sekadar
menghafal teori. Namun, sistem penilaian saat ini masih terlalu bergantung pada
ujian tulis yang tidak selalu mencerminkan kemampuan berpikir kritis dan
keterampilan abad ke-21, seperti kolaborasi, kreativitas, dan problem-solving.
4. Kurangnya Integrasi Teknologi dalam Pembelajaran
Generasi Alpha
menghabiskan sebagian besar waktu mereka menggunakan perangkat digital, tetapi
banyak sekolah masih belum mengadopsi teknologi sebagai bagian dari
pembelajaran. Hal ini menghambat proses belajar karena siswa lebih tertarik
dengan platform digital daripada metode belajar konvensional yang kaku.
5. Kesenjangan Digital dalam Akses Pembelajaran
Meskipun
Generasi Alpha sangat akrab dengan teknologi, tidak semua sekolah memiliki
fasilitas digital yang memadai. Di beberapa daerah, akses internet masih
terbatas, sehingga penerapan model pembelajaran berbasis teknologi menjadi
tantangan. Oleh karena itu, solusi pembelajaran yang fleksibel dan bisa
diterapkan baik secara daring maupun luring perlu dikembangkan.
Sistem pendidikan saat ini harus
segera beradaptasi dengan cara belajar Generasi Alpha. Jika tidak, ada
kemungkinan besar siswa akan kehilangan motivasi belajar karena metode yang
digunakan tidak relevan dengan dunia mereka. Oleh karena itu, perlu ada perubahan
dalam metode pengajaran, dari yang bersifat pasif menjadi lebih aktif dan
berbasis eksplorasi. Selain itu, peran guru juga harus berubah dari sekadar
pemberi materi menjadi fasilitator yang membimbing siswa dalam eksplorasi ilmu
pengetahuan.
3. Model
Pembelajaran yang Efektif untuk Gen Alpha
Untuk menghadapi tantangan ini,
diperlukan model pembelajaran yang lebih adaptif dan inovatif agar dapat
mengakomodasi gaya belajar Generasi Alpha. Beberapa pendekatan yang efektif
meliputi:
a.
"Belajar sambil Bermain" dengan Gamifikasi
Apa itu gamifikasi?
Gamifikasi adalah metode
pembelajaran yang mengadaptasi elemen permainan, seperti tantangan, poin,
leaderboard, dan hadiah, ke dalam proses belajar. Konsep ini bertujuan untuk
meningkatkan motivasi dan keterlibatan siswa dalam belajar.
Contoh Implementasi Gamifikasi:
- Matematika: Penggunaan aplikasi seperti Mathletics atau Prodigy yang memberikan
poin dan medali saat siswa menyelesaikan soal.
- Bahasa Inggris: Kompetisi membuat podcast
singkat di Flipgrid tentang topik tertentu.
- IPA: Eksperimen sains berbasis simulasi digital yang memungkinkan siswa
melakukan eksperimen tanpa batasan alat laboratorium.
Manfaat Gamifikasi:
- Meningkatkan motivasi siswa karena pembelajaran terasa seperti
permainan.
- Mendorong persaingan sehat dan kerja sama dalam kelompok.
- Membantu siswa mencapai pemahaman yang lebih dalam melalui interaksi
langsung.
b.
"Sekolah Tanpa Dinding" melalui Blended Learning
Apa itu blended learning?
Blended learning adalah metode
yang menggabungkan pembelajaran daring (online) dengan pembelajaran tatap muka
(offline). Metode ini memungkinkan siswa untuk belajar dengan ritme mereka
sendiri, serta memanfaatkan teknologi untuk eksplorasi yang lebih dalam.
Contoh Implementasi Blended
Learning:
- Siswa menonton video edukasi singkat tentang fotosintesis melalui
Google Classroom sebelum masuk kelas.
- Di kelas, mereka melakukan eksperimen menanam tanaman hidroponik dan
mendiskusikan hasilnya.
Keunggulan Blended Learning:
- Meningkatkan fleksibilitas dalam pembelajaran.
- Membantu siswa belajar mandiri dan mengasah keterampilan berpikir
kritis.
- Memberikan pengalaman belajar yang lebih menarik dan berorientasi pada
praktik.
c. "Dari
Penonton Jadi Pembuat Konten" dengan Digital Storytelling
Apa itu digital storytelling?
Digital storytelling adalah
metode pembelajaran yang melibatkan siswa dalam pembuatan konten edukatif
berbasis multimedia, seperti video, podcast, atau animasi.
Contoh Implementasi Digital
Storytelling:
- Siswa membuat video edukatif tentang sejarah lokal dan mengunggahnya
ke platform sekolah.
- Pembuatan vlog eksperimen sains sederhana dan berbagi hasilnya di
YouTube kelas.
Manfaat Digital Storytelling:
- Mengembangkan kreativitas siswa dalam menyampaikan ide.
- Melatih keterampilan komunikasi dan kolaborasi.
- Memperkuat pemahaman siswa melalui pembuatan konten edukatif.
Penerapan model pembelajaran yang
lebih inovatif seperti gamifikasi, blended learning, dan digital storytelling
sangat penting untuk meningkatkan keterlibatan Generasi Alpha dalam pendidikan.
Namun, perubahan ini harus dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan
kesiapan sekolah, guru, dan infrastruktur teknologi.
Saran:
- Sekolah harus mulai mengintegrasikan teknologi secara bertahap dalam
pembelajaran.
- Guru perlu diberikan pelatihan dalam penggunaan metode pembelajaran
digital.
- Pemerintah dan industri teknologi harus berkolaborasi untuk
menyediakan platform edukatif yang terjangkau dan mudah diakses.
4. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah
disampaikan, dapat disimpulkan bahwa Generasi Alpha adalah generasi yang
memiliki karakteristik unik sebagai digital natives, dengan cara belajar
yang berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang
sangat dipengaruhi oleh teknologi digital, sehingga membutuhkan pendekatan
pembelajaran yang lebih inovatif, fleksibel, dan berbasis teknologi.
Sistem pendidikan konvensional
yang masih mengandalkan metode ceramah satu arah dan penilaian berbasis ujian
tertulis terbukti kurang efektif dalam menjawab kebutuhan belajar Generasi
Alpha. Kurangnya interaktivitas, minimnya personalisasi pembelajaran, serta
ketidaksesuaian metode penilaian dengan kompetensi abad ke-21 menjadi tantangan
utama yang harus segera diatasi.
Untuk menghadapi tantangan ini,
diperlukan model pembelajaran yang lebih adaptif, seperti:
1. Gamifikasi, yang mengubah
materi pelajaran menjadi permainan interaktif guna meningkatkan motivasi
belajar.
2. Blended Learning, yang
menggabungkan pembelajaran daring dan luring untuk menciptakan pengalaman
belajar yang lebih fleksibel dan mandiri.
3. Digital Storytelling, yang
memungkinkan siswa menjadi pembuat konten edukatif sehingga dapat mengembangkan
kreativitas dan keterampilan komunikasi.
Sebagai generasi yang akan
menghadapi masa depan penuh ketidakpastian akibat perkembangan teknologi yang
pesat, Generasi Alpha membutuhkan sistem pendidikan yang dapat membekali mereka
dengan keterampilan berpikir kritis, kolaborasi, kreativitas, dan pemecahan
masalah. Oleh karena itu, transformasi pendidikan harus menjadi prioritas bagi
pemerintah, pendidik, dan masyarakat secara keseluruhan.
Saran :
- Peningkatan Kompetensi Guru: Guru perlu diberikan
pelatihan intensif dalam penggunaan teknologi pendidikan agar mereka mampu
menerapkan model pembelajaran berbasis digital secara efektif.
- Pengembangan Kurikulum Berbasis Teknologi: Kurikulum
harus lebih fleksibel, memungkinkan penggunaan sumber belajar berbasis
teknologi dan mendorong pendekatan berbasis proyek serta kolaboratif.
- Kolaborasi dengan Industri Teknologi: Sekolah
dan penyedia teknologi harus bekerja sama untuk menciptakan platform
pembelajaran yang mudah diakses dan sesuai dengan kebutuhan Generasi
Alpha.
- Peningkatan Infrastruktur Teknologi: Pemerintah harus memastikan
bahwa semua sekolah, termasuk yang berada di daerah terpencil, memiliki
akses terhadap teknologi yang memadai.
Jika transformasi pendidikan
dapat dilakukan dengan optimal, Generasi Alpha tidak hanya akan menjadi
pembelajar yang lebih aktif dan mandiri, tetapi juga siap menghadapi tantangan
global di masa depan, termasuk dalam bidang kecerdasan buatan, perubahan iklim,
dan ekonomi digital. Pendidikan yang tepat akan membekali mereka dengan
kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan dan menjadi inovator yang
berkontribusi bagi dunia.
Daftar Pustaka
APJII. (2022). Profil
pengguna internet Indonesia. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia.
Buckingham, D.
(2007). Beyond technology: Children's learning in the age of digital
culture. Polity Press.
Cope, B., &
Kalantzis, M. (2009). Ubiquitous learning. University of Illinois Press.
Fullan, M.
(2022). The principal 3.0: Leading in the age of AI. Harvard Education
Press.
Gardner, H.
(1983). Frames of mind: The theory of multiple intelligences. Basic
Books.
Gee, J. P.
(2007). What video games have to teach us about learning and literacy.
Palgrave Macmillan.
Horn, M. B.,
& Staker, H. (2014). Blended: Using disruptive innovation to improve
schools. Jossey-Bass.
Kapp, K. M.
(2012). The gamification of learning and instruction: Game-based methods and
strategies for training and education. Pfeiffer.
Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2023). Kurikulum prototipe
2024: Panduan implementasi. Kemdikbudristek.
Mayer, R. E.
(2021). Multimedia learning (3rd ed.). Cambridge University Press.
McCrindle, M.,
& Fell, A. (2018). Understanding Generation Alpha. McCrindle
Research.
Microsoft. (2015).
Attention span research report. Microsoft Corporation.
OECD. (2019). Trends
shaping education 2019. OECD Publishing.
Prensky, M.
(2001). Digital natives, digital immigrants. On the Horizon, 9(5),
1-6. https://doi.org/10.1108/10748120110424816
Reigeluth, C.
M., & Karnopp, J. R. (2020). Reinventing schools: It’s time to break the
mold. Rowman & Littlefield.
Robin, B.
(2008). Digital storytelling: A powerful technology tool for the
21st-century classroom. Theory Into Practice, 47(3), 220–228. https://doi.org/10.1080/00405840802153916
Salmon, G.
(2013). E-tivities: The key to active online learning. Routledge.
Siemens, G.
(2005). Connectivism: A learning theory for the digital age.
International Journal of Instructional Technology and Distance Learning, 2(1),
3–10.
Tapscott, D.
(2009). Grown up digital: How the net generation is changing your world.
McGraw-Hill.
UNICEF. (2023).
Gen Alpha: Digital learning trends. United Nations Children's Fund.
Vygotsky, L. S.
(1978). Mind in society: The development of higher psychological processes.
Harvard University Press.
Zhao, Y.
(2012). World class learners: Educating creative and entrepreneurial
students. Corwin Press.