Minggu, 03 Januari 2021

DIMENSI FILSAFAT PENDIDIKAN

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

Saat pertamakali muncul, definisi filsafat adalah cara atau seni untuk menuju baik. Filsafat pada periode pertama belum memiliki nama apa pun, termasuk nama filsafat. Kemudian dalam perkembangannya ketika minat manusia pada bahasa meningkat, filsafat kemudian mengalami fenomena kebahasaan dan terkontroversikan ke dalam berbagai istilah. Pada akhirnya secara alami sejarah menentukan takdirnya dengan memilih istilah filsafat sebagai cara untuk menuju baik. Beberapa literatur menyebut penamaan tersebut mengacu kepada paparan Plato dalam karyanya Paidros. Meski terdapat pula yang mengatakan istilah filsafat lahir pertama kali dari Pythagoras (532 SM).

Jika kita melacak sejak kapan munculnya aliran-aliran filsafat, kapan pemetaan pemikiran filsafat sehingga melahirkan aliran-aliran dan mazhab-mazhab filsafat yang berbeda, maka besar kemungkinan kejadian tersebut pertama dimulai di era Pythagoras. Hal ini terkait dengan sejarah Pythagoras yang terusir dari negerinya karena pemikiran-pemikiran filsafatnya, hingga ia tinggal di daerah sekitar Croton. Kelak di daerah ini terbentuklah perkumpulan-perkumpulan eksklusif penganut pemikiran Pythagoras.

Belakangan, filsafat kehidupan makin hari makin tanpa arah yang pasti, terpaku pada batasan bahwa hidup tidak mungkin dipastikan, berkutat pada pandangan Heraklitus bahwa perubahan adalah kepastian. Sementara, bersamaan dengan itu problem-problem moral tak terpecahkan dan etika manusia banyak menjadi blunder dan paradox. Di satu sisi, menjamurnya institusi-institusi pendidikan membentuk kesan bahwa dunia tengah menuju hidup yang jauh lebih baik. Akan tetapi, di balik semua itu, kemerosotan-kemerosotan hidup kian mewabah. Dalam periode yang terus memburuk, pendidikan sebenarnya bisa menjadi tumpuan dan harapan, hanya saja perbaikan tersebut sulit terjadi karena kenyataan pendidikan saat itu sangat buruk dan mengalami kemerosotan yang sama dengan bidang-bidang kehidupan lainnya. Pendidikan menjadi alat industri yang dihidupi  hukum-hukum ekonomis. Oleh karena itu, kerap dikatakan betapa di kampus-kampus dan sekolah-sekolah seseorang tidak akan bertemu dengan guru, hanya bertemu dengan pekerja yang dilatarbelakangi motif ekonomi semata. Guru hanya menjadi komponen kecil dari industri wacana bernama pendidikan. Oleh karena itu, pertemuan dengan para mahasiswa dan siswa tidak lagi memiliki sisi keterkaitan apa pun selain hanya pertemuan dengan klien yang mesti diberi layanan jasa.

Di satu sisi, pendidikan mengklaim diri sebagai agen kemanusiaan. Namun, di sisi lain, pendidikan adalah agen dehumanisasi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ribuan institusi pendidikan di masa tersebut tidak memberikan perubahan signifikan apa pun pada tata kehidupan. Disini kita perlu mengkaji ulang apa dan bagaimana pendidikan, terutama hal-hal yang mendasari lahirnya berbagai problem filosofi pendidikan. Semisal, ketika pendidikan telah menjadi industri penghasil tenaga kerja, pendidikan tidak lebih hanya perusahaan yang melayani kebutuhan pasar. Sedangkan pasar tidak pernah memiliki visi lain selain visi ekonomi, peningkatan laba, pencitraan, serta kesenangan.   

Filsafat adalah hal paling mendasar dalam hidup sehingga filsafat selalu menjadi landasan di berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Pendidikan pada dasarnya lahir dari spekulasi-spekulasi etis filsafat atas hidup dan kehidupan manusia. Akan tetapi, spekulasi-spekulasi filsafat tidak selalu bisa diterima sebab tidak sedikit pula spekulasi filsafat yang sama sekali tidak relevan diterapkan. Dalam sejarah pendidikan di indonesia dapat kita temukan betapa pendidikan di Indonesia sering berlangsung nyaris tanpa dilandasi filsafat pendidikan yang jelas. Pendidikan di Indonesia termasuk lambat berkembang.

Munculnya berbagai LSM pendidikan telah mengundang penerapan teori-teori pendidikan progresif, misalnya kita akan menemukan bantuan di berbagai wilayah bencana berupa ruang-ruang pembelajaran non-permanen yang kerap disebut Children Center. Ruang pengajaran tempat anak sepenuhnya dilibatkan secara aktif dan guru semata-mata hanya menjadi fasilitator. Adapun di ruang pendidikan formal, pola pengajaran yang berlaku di Indonesia masih bersifat tradisional. Kampus mungkin mulai terlihat moderen, bahkan memiliki fasilitas-fasilitas pendidikan mahal yang canggih. Akan tetapi, pola pendidikan yang ditetapkan masih sangat tradisional. Ini terindikasi dalam berbagai otoritas mutlak saat proses pengajaran berlangsung di kelas.

Anehnya dalam penerapan pola pengajaran Indonesia yang begitu tradisional, pola penyelenggaraan administratif telah dilakukan dengan cara-cara sebagaimana pendidikan yang ada di negara-negara industrialis maju. Bayang-bayang alam bawah sadar normatif pendidik Indonesia selalu ingin tetap berdiri pada posisi guru dalam pola pendidikan tradisional, akan tetapi motifnya dalam melakukan pengajaran justru lebih bersifat industri, yaitu banyak dikendalikan oleh motif-motif ekonomi.

Kerancuan, ketumpangtindihan, serta ketidakjelasan pola pendidikan agaknya telah menjadi penyebab utama institusi pendidikan melahirkan situasi-situasi kontraproduktif. Hal fenomenal juga melanda dunia pendidikan berlatar belakang agama, termasuk salah satunya pesantren. Betapa kuatnya tekanan negara sehingga pesantren bergerak menyamakan dirinya dengan pendidikan non-agama, yaitu pergeseran yang mengarah kepada kepentingan untuk bisa memperoleh formalisme yang sama dengan yang diperoleh pendidikan umum non-pesantren. Tentu saja semua formalisme itu mudah ditebak muaranya, yaitu terarah untuk melayani formalisasi yang ada dalam ruang industrialisasi.

Kenyataan-kenyataan itu tentu saja sangat buruk, dan hingga sejauh ini kita belum berhasil mengurai kekacauan ini. Hal ini karena kajian filsafat pendidikan di Indonesia masih menjadi kajian yang sangat lemah. Padahal, filsafat pendidikan yang baik akan membantu melihat lebih jauh kenyataan sebenarnya yang terjadi di lapangan. Dengan demikian, kita merumuskan format-format pola pendidikan yang mesti dilakukan berikut berbagai pembahasan tentang kelemahan-kelemahan dari penerapan teori itu.

Diskursus filsafat pendidikan penting dilakukan guna mengevaluasi problem-problem filosofis yang ada dalam pendidikan. Artinya, meski semua pendidikan selalu dapat dipastikan berjalan dengan landasan-landasan filosofis, tapi tidak selalu landasan-landasan itu valid dan tepat dengan situasi pendidikan dan tujuan yang hendak dicapai.

Dari itulah, kita perlu mengkaji lebih jauh jenis dan ragam pandangan konsep pendidikan di berbagai aliran filsafat pendidikan. Karena dengan mendalami filsafat pendidikan itulah, pendidikan akan mampu benar-benar terevaluasi, baik dalam ranah konseptual teoritis ataupun ranah praktis pragmatis.

Filsafat dan pendidikan mempunyai hubungan yang sangat erat. Sebab, pendidikan pada hakikatnya merupakan proses pewarisan nilai-nilai filsafat yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan yang lebih baik atau sempurna dari keadaan sebelumnya. Dalam pendidikan diperlukan filsafat pendidikan.

Filsafat pendidikan adalah ilmu yang mempelajari dan berusaha menyelesaikan masalah-masalah pendidikan yang bersifat filosofis. Jadi, ketika ditemui masalah atas pertanyaan-pertanyaan soal pendidikan yang bersifat filosofis, wewenang filsafat pendidikanlah untuk menjawab dan menyelesaikannya.

Secara filosofis, pendidikan adalah hasil peradaban suatu bangsa yang terus-menerus dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan filsafat serta pandangan hidupnya sehingga menjadi suatu kenyataan yang melembaga di dalam masyarakatnya. Dengan demikian, muncullah filsafat pendidikan yang menjadi dasar suatu bangsa berpikir, berperasaan, dan berkelakuan, yang menentukan bentuk sikap hidupnya. Sedangkan, proses pendidikan dilakukan secara terus-menerus dilakukan dari generasi ke generasi secara sadar dan penuh keinsafan.

Ajaran filsafat merupakan hasil pemikiran seseorang atau beberapa ahli filsafat tentang sesuatu secara fundamental. Pemecahan masalah-masalah itu kerap melahirkan perbedaan terkait perbedaan filsafat yang digunakan sehingga melahirkan kesimpulan-kesimpulan berbeda meskipun masalah yang dihadapi sama. Perbedaan tersebut pula disebabkan oleh factor-faktor lain, seperti latar belakang pribadi para ahli tersebut, pengaruh zaman, kondisi, dan alam pikiran manusia di suatu tempar. Dari pemikiran filsafat yang berbeda-beda inilah, kemudian lahir sistematika yang didasarkan kategori tertentu dan menghasilkan suatu klasifikasi. Dari itulah, kita kemudian menemukan sesuatu yang disebut “aliran (system)” suatu filsafat.

Pengklasifikasian itu pun kerap berbeda-beda dan tidak sama, terkait dengan kriteria-kriteria yang digunakan. Seorang pemikir mungkin membedakan aliran-aliran filsafat pendidikan ke dalam beberapa jenis klasifikasi  dengan menyisihkan beberapa jenis aliran. Sebaliknya pemikir lain justru memasukkan aliran-aliran yang disisihkan itu ke dalam klasifikasinya dan mengeluarkan aliran yang lain.

Brubracher membagi aliran dalam filsafat pendidikan ke dalam beberapa bagian. Mulai dari pragmatis-naturalis, rekonstruksionisme, romantic naturalis, eksistensialisme, idealism, realism, rasional humanism, skolastik realism, fasisme, komunisme, dan demokrasi. Sebagian kalangan menganggap pengklasifikasian yang dilakukan Brubracher termasuk sangat teliti karena konon dilakukan untuk menghindari overlappin dari masing-masing aliran. Namun dalam amatan yang lain, betapa pengklasifikasian yang dilakukan oleh Brubracher masih mengandung kerancuan.


 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.     Filsafat Pendidikan Realisme

1.      Pengertian Realisme

Berdasarkan bentuk kata (etimologi), Realisme berasal dari Bahasa Latin ”realis” yang berarti ”sungguh-sungguh atau nyata dan benar”. Realisme adalah filsafat yang menganggap bahwa ada dunia eksternal nyata diluar kita yang dapat kita kenali melalui indera.

Realisme berpandangan bahwa objek yang terdeteksi oleh persepsi inderawi adalah objek yang sungguh-sungguh ada, tidak dipengaruhi oleh indera dan akal. Objek menangkapnya karena objek itu memang dapat diselidiki, dianalisis, dipelajari lewat ilmu, dan ditemukan hakikatnya lewat ilmu filsafat .

Para penganut realisme menyatakan bahwa manusia bisa salah lihat pada benda-benda real karena manusia cenderung terpengaruh oleh keadaan di sekelilingnya, sedangkan realitas objek nyata tersebut pada hakikatnya tidak terpengaruh oleh persepsi kita. Sebagai ilustrasi, Gunung yang kita lihat menjulang tinggi adalah gunung yang real. Ia bukanlah konsep atau ide dalam pikiran sehingga ia akan tetap ada meski tidak ada satu pun manusia yang memikirkannya.

Realisme kerap dipandang sebagai kebalikan dari idealism, hadir sebagai reaksi perlawanan terhadap filsafat idealism yang cenderung abstrak dan metafisik. Filsafat idealism sangat berpegang pada kondisi-kondisi mental akal pikiran sedangkan instrument utama realisme adalah indera yang terlepas dari pengetahuan yang telah dikonstruksi oleh akal pikiran.

2.      Sejarah Realisme

Gagasan filsafat realisme terlacak sudah ada sebelum abad masehi dimulai, yaitu dalam pikiran murid Plato bernama Aristoteles (384-322 SM). Ibarat Plato memulai filsafatnya dari di sebelah selatan, Aristoteles justru memulai dari sebelah utara. Filsafat Aristoteles tampak seperti antithesis filsafat Plato yang justru memiliki corak idealism. Jika Plato meyakini bahwa realita adalah hasil dari alam idea, Aristoteles justru memandang bahwa realita berada di luar alam ide, benda-benda yang kita inderai tidak lahir dari pikiran atau mental kita. Bagi Aristoteles, eksistensi benda-benda nyata di sekitar kita tidak ditentukan oleh akal kita, benda-benda tetaplah ada walaupun tidak ada yang memikirkannya. Kelak, ini menjadi fondasi awal bagi lahirnya fisika dan sains modern.

Selanjutnya, realisme dipengaruhi dua filsuf terkemuka, Francis Bacon (1561-1626) dengan pemikirannya tentang metodologi induktif serta John Locke tentang konsep akal-pikir jiwa manusia yang disebutnya sebagai “tabula rasa”. Pada abad ke-20, pada 1960-an kita akan menemukan Harry S. Boudy sebagai seorang pemikir realisme modern dengan karyanya yang berjudul, Building a Philosophy of Education (1961).

3.      Pandangan Realisme

Realitas merupakan sisi lain idealism. Jika filsafat idealism selalu merujuk bahwa “yang ada” adalah “yang bisa dipikirkan”, sebaliknya para realis termasuk Bacon memandang bahwa ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu titik tempat bertolak dan mengambil kesimpulan. Menurutnya, realita dunia hanya dapat difahami melalui pengamatan, mengumpulkan fakta, lalu membuat argumentasi induktif yang logis

Realisme meyakini bahwa “yang ada” adalah yang bisa teramati oleh indera. Bagi seorang realis, sebanyak apapun akal memiliki ide tentang sesuatu hal akan tetapi jika hal tersebut tidak bisa teramati oleh indera maka hal tersebut tidak real, “common sense” menjadi epistemologi filsafat realism.

Serapan inderawi menjadi sarana utama untuk mengetahui realita. Realisme menjadikan indera atau pengamatan sebagai instrument atau epistemologi dalam memperoleh pengetahuan serta kebenaran. W.E. Hocking menyatakan bahwa realisme adalah kecenderungan untuk menjaga diri tidak mencampuri putusan tentang segala sesuatu dan membiarkan objek-objek berbicara untuk diri objek itu sendiri.

4.      Realisme dan Pendidikan

Pendidikan dalam realisme memiliki keterkaitan erat dengan pandangan John Locke bahwa akan-pikir jiwa manusia tidak lain adalah “tabula rasa”, ruang kosong serupa kertas putih yang perlu menerima perlakuan dari lingkungan. Oleh karena itu, pendidikan dipandang dibutuhkan untuk membentuk setiap individu agar mereka menjadi apa yang dipandang baik. Dengan demikian, pendidikan dalam realisme kerap didentikkan sebagai psikologi behaviorism dalam ruang pengajaran.

Murid dipandang sama sekali tidak mengetahui apapun kecuali apa-apa yang telah pendidikan berikan. Di sini dalam pengajaran realisme, siswa menjadi subjek didik yang tak berbeda dengan robot. Ia mesti tunduk dan patuh sepatuh-patunya untuk diprogram oleh materi-materi yang telah ditetapkan sedemikian rupa.

Di akhir prose pendidikan, realisme berharap manusia sukses dibentuk untuk hidup dalam nilai-nilai yang telah menjadi common sense sehingga manusia mampu beradaptasi dengan lingkungan yang ada. Sisi buruk pendidikan model ini adalah banyak dikendalikan skeptisisme positivistic, yaitu mereka dalam hal apa pun cenderung meminta bukti dalam bentuk-bentuk yang bisa didemonstrasikan secara inderawi.

Realisme juga berjasa bagi perkembangan dunia pendidikan yaitu pengembangan media pembelajaran.Temuan Crezh, seorang pendidik di Mosenius pada abad ke-17 dengan karya Orbic Pictur-nya, sempat mengejutkan dunia pendidikan dan dipandang sebagai gagasan baru. Ini karena pada saat itu belum ada satu pun memiliki pemikiran untuk memasukkan alat bantu visual seperti gambar-gambar perlu digunakan dalam pengajaran anak, terutama dalam mempelajari bahasa. Di abad selanjutnya, yaitu ke-18 menjelang abad 19, gagasan Moravi menginspirasi Pestalozzi untuk menghadirkan objek-objek peraga fisik dalam ruang pengajaran di dalam kelas.

Corak lain kecenderungan pendidikan realisme adalah adalah kuatnya tekanan-tekanan yang mengarahkan kepada keteraturan yang bersifat mekanistik, apa yang diterapkan realisme ke dalam ruang belajar dipandang melahirkan berbagai hal yang kemudian menuai banyak kecaman sebab dinilai telah menjadi penyebab dehumanisasi.

Berdasarkan aliran realisme, maka tujuan pendidikan akan dirumusakan sebagai upaya pengembangan potensi-potensi yang ada dan dimiliki oleh peserta didik untuk menjadi seoptimal mungkin. Menurut Realisme, yang dimaksud dengan hakikat kenyataan suatu benda itu berada pada ”hal” atau ”benda” itu sendiri. Jadi, bukan bagaimana benda itu dinilai dari luar. Oleh karena itu, wajar bila yang menjadi perhatian pertama dalam pendidikan adalah apa yang ada pada peserta didik .

Berikut ini adalah beberapa pandangan Filsafat realisme terhadap pendidikan:

a.       Tujuan Pendidikan. Tujuan-tujuan pendidikan dalam aliran realisme adalah supaya peserta didik mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan dapat melaksanakan tang jawab sosial. Kurikulum berisi unsur-unsur pendidikan untuk mengembangkan kemampuan berfikir dan pendidikan praktis untuk kepentingan bekerja. Kurikulum berisi semua pengetahuan yang berguna dalam menyesuaikan diri dan membentuk tanggung jawab sosial.

b.      Inisiatif dalam pendidikan harus ditekankan pada pendidik bukan pada anak. Peranan pendidik adalah menguasai pengetahuan, keterampilan teknik-teknik pendidikan dengan kemampuan untuk mencapai target pendidikan yang dibebankan kepadanya.

c.       Inti dari proses pendidikan adalah asimilasi dari materi yang telah ditentukan. Kurikulum diorganisasikan dan direncanakan dengan pasti oleh guru.

d.      Semua kegiatan belajar dilakukan melalui pengalaman, baik langsung maupun tidak langsung. Metode mengajar hendaknya bersifat logis, bertahap atau berurutan. Pembiasaan menjadi metode pokok yang dipergunakan baik oleh kalangan penganut realisme maupun behaviorisme.

e.       Sangat penting untuk menegakkan aturan dan tata cara yang baik dalam belajar. Peserta didik perlu mempunyai disiplin mental dan moral.


 

B.     Filsafat Pendidikan Pragmatisme

1.      Pengertian Pragmatisme

Secara etimologis, kata 'pragmatisme' berasal dari kata bahasa Yunani pragmatikos yang berarti cakap dan berpengalaman dalam urusan hukum, dagang, dan perkara negara (Mangunhardjana, 1997; 189). Istilah “pragmatisme” disampaikan pertama kali oleh Charles Peirce pada bulan Januari 1878 dalam artikelnya yang berjudul How to Make Our Ideas Clear. (Armin, 2003; 20)

Filsafat Pragmatisme mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau manfaat praktisnya (Hadiwijono, 1980; 130-131). Bagi pragmatis yang penting bukanlah kebenaran objektif dari suatu pengetahuan melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan tersebut. Dapat ditarik pola umum dalam pragmatisme bahwa sebuah ide menjadi benar ketika memiliki fungsi pelayanan dan kegunaan.

Bayangkan sebuah mobil dengan segala kerumitan mesin yang membuatnya bekerja, namun yang sesungguhnya menjadi dasar adalah jika mobil itu dapat bekerja atau berfungsi dengan baik. Filsafat pragmatisme tidak mau direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran, terlebih yang bersifat metafisik, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan filsafat Barat di dalam sejarah. Dalam pragmatisme, 'apa yang benar adalah apa yang berfungsi’.

2.      Sejarah Pragmatisme

Pragmatisme adalah aliran filsafat modern yang lahir di Amerika akhir abad 19 hingga awal abad 20, walau pada awal perkembangannya sempat juga berkembang ke Inggris, Perancis, dan Jerman. Filsafat ini cenderung lebih banyak mengabaikan hal-hal yang bersifat metafisik tradisional dan lebih banyak pada hal-hal yang pragmatis.

Pragmatisme lahir ketika Amerika dilanda problem masifnya urbanisasi dan industrialisasi. Berakhirnya Perang Dunia I dengan korban sekitar 8,4 juta jiwa secara tidak langsung telah melahirkan dampak psikologis yang begitu maluas dan memicu terjadi berbagai perubahan-perubahan bangsa, khususnya para filsuf di dalam menyadari hidup dan kahidupan yang ada.

William James (1842-1910) adalah orang yang memperkenalkan gagasan-gagasan dari aliran ini ke seluruh dunia. William James dikenal juga secara luas dalam bidang psikologi. Aliran ini melahirkan beberapa nama yang cukup berpengaruh mulai Charles S. Pierce (1839-1914) dan seseorang pemikir yang juga cukup menonjol bernama George Herbert Mead (1863-1931). Delaney (1999; 229) menyebutkan bahwa filsuf awal lain yang terkemuka dari pragmatisme adalah John Dewey yang juga dikenal sebagai kritikus sosial dan pemikir dalam bidang pendidikan.

Apa yang disebut dengan neo-pragmatisme juga berkembang di Amerika Serikat dengan tokoh utamanya adalah Richard Rorty. Magnis (2000; 242) menyebutkan bahwa salah satu pemikiran Richard Rorty yang terkenal adalah bagaimana bahasa menentukan pengetahuan karena bahasa lahir berbeda-beda. Demikianlah pengetahuan pun tidak hanya satu dan tidak dapat dipandang universal, budaya atau nilai-nilai yang ada di sekitar kita cukup dilihat secara fungsinya saja terhadap manusia.

3.      Pandangan Pragmatisme

Filsafat pragmatisme secara umum dipandang berupaya menengahi pertikaian antara idealism dan empirisme serta berupaya melakukan sitesis antara keduanya. Pragmatisme mendasarkan dirinya kepada filsafat yang memakai sebab-sebab praktis dan kepercayaan untuk menetapkan nilai dan kebenaran. Dalam penjabaran William, kita bisa mengetahui betapa filsafat pragmatisme selalu menjadi pemikiran filsafat yang didasarkan pada metode ketimbang pada doktrint. Oleh karena itu, pragmatisme kerap pula dianggap sebagai upaya-upaya penyelidikan eksperimental berdasarkan metode sains modern. Pengalaman menjadi sesuatu yang begitu fundamental dan begitu menentukan.

Dalam perkembangannya, pragmatisme ini akan memengaruhi teori-teori pendidikan yang lahir setelahnya, mulai dari progresivisme, rekonstruksionisme, futurism, serta humanism pendidikan. Pemikiran ini menunjuk bahwa epistemologi pragmatisme sepenuhnya berbasis pendekatan empiris: apa yang bisa dirasakan itulah yang benar. Sebab, hanya dengan mengalamilah pengetahuan ini dapat dicerap. Pengalaman menjadi parameter ketika sesuatu dapat diterima kebenaran. Menurut mereka, pengalaman yang mereka alami akan berubah jika realitas yang mereka alami pun berubah.

Realitas dalam pragmatis bukanlah sesuatu yang abstrak tetapi hanya pengalaman transaksional yang secara konstan akan terus-menerus berubah. Di titik inilah seorang William James kemudian berujar betapa manusia selalu hidup dalam dunia dengan tutup yang terbuka. Pandangan James ini sama dengan Dewey tentang konsep kebenaran. Bagi Dewey, kebenaran tidak lebih hanya opini yang ditakdirkan sebagai sesuatu yang dipandang benar sehingga semua orang pun kemudian berupaya menyelidikinya untuk kemudian meyakini atau menolak otoritasnya.

Corak paling kuat dari pragmatisme adalah kuatnya pemikiran tentang konsep kegunaan. Makna kegunaan dalam pragmatisme lebih ditetapkan pada kegunaan ilmiah, bukan pada hal-hal bersifat metafisik. Maka pengetahuan tidak identik dengan kepercayaan. Kebenaran adalah yang dianggap perlu dipercayai (to believe) dan menjadi hal personal atau pribadi, dan itu tidak perlu dikabarkan kepada public. Sedangkan hal-hal yang dianggap perlu diketahui (to know) haruslah selalu dikabarkan atau didemonstrasikan pada pengamat yang qualified dan netral. Kepercayaan memang ada dalam pengetahuan meski banyak pula kepercayaan tidak akan ditemukan siap pun di banyak pengetahuan.

Pandangan-pandangan itu semuanya terangkai oleh konsep kegunaan dan fungsi pragmatis. Oleh karena itu, para pragmatis kerap mengungkapkan seringkali yang harus kita ketahui bukan sesuatu yang mesti kita percayai, dan apa yang kita percayai tidak selalu menjadi sesuatu hal yang mesti kita ketahui. Konsep kegunaan dan fungsi kebenaran dalam pragmatisme selalu hadir menjadi relatif dan kasuistik. Sebuah kebenaran yang dipandang benar-benar valid dan berguna, di waktu yang lain bisa menjadi sesuatu hal yang sama sekali mesti dilupakan.

4.      Pendidikan dalam kerangka Pragmatisme

Penekanan utama pragmatisme dalam pendidikan selalu dilandaskan bahwa peserta didik bukanlah objek, melaikan subjek yang memiliki pengalaman. Subjek didik adalah individu yang mampu mengalami sehingga mereka berkembang dan berinisiatif dalam mengatasi problem-problem hidup. Terkait lingkungan pendidikan, pragmatisme menilai bahwa situasi di sekolah dan situasi di luar sekolah adalah sama-sama bagian dari pengalaman hidup, kehidupan di sekolah bukan bagian dari persiapan untuk menjalani hidup.

Pragmatisme memandang bahwa pelajar harus menghadapi problem yang memicu lahirnya tindakan dari pemikiran yang sangat reflektif, sehingga kecerdasan peserta didik akan melahirkan pertumbuhan yang membuat mereka mampu beradaptasi dengan dunia yang selalu berubah.

Pendidikan pragmatisme kerap dianggap sebagai pendidikan yang mencanangkan nilai-nilai demokrasi di dalam kelas. Dasar pemikirannya adalah bahwa setiap orang dalam suatu masyarakat memiliki kesempatan untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan pendidikan yang ada. Karena pendidikan  bukan ruang yang terpisah dari sosial, maka berlaku pula kaidah-kaidah mengenai pentingnya aspirasi.

Guru dalam pragmatisme sangat berbeda dengan guru dalam pendidikan tradisional otoritatif yang menekankan pentingnya kepatuhan siswa. Dalam pendidikan pragmatism, guru mendapingi subjek didik sebagai pengarah atau pemandu aktivitas dengan cara menawarkan pertimbangan-pertimbangan yang bersumber dari pengalaman guru yang lebih luas dari pengalaman peserta didik.

Pengajaran pragmatisme sangat berbeda dengan pengajaran tradisional yang formal dan kaku. Pendidikan pragmatisme justru sering dilakukan di luar ruangan, di alam terbuka, dan di berbagai tempat yang disukai peserta didik. Metode pengajaran dalam pragmatisme selalu menekankan bahwa pengalaman adalah hal yang utama. Oleh karena itu, upaya pengajaran dilakukan selalu menjadi sesuatu yang dekat dengan hidup. Seseorang yang hendak belajar tentang pertanian akan dibawa langsung di area tempat kegiatan-kegiatan pertanian dilakukan. Guru menjadi pendamping atau pemandu yang sesekali menjelaskan dan memberi nasihat bagi para subjek didik. Metode ini popular dengan nama metode eksperimental.

Kebijakan-kebijakan sekolah selalu menjadi kebijakan liberalisme, dalam artian mereka tidak pernah khawatir dengan perubahan-perubahan sosial. Bagi mereka, perubahan adalah kenyataan hidup yang tidak mungkin dibendung. Maka pendidikan harus mengajarkan bagaimana mengelola perubahan dengan cara yang sehat. Sekolah tidak perlu membebani subjek didik dengan beban-beban yang tidak produktif seperti menghafal dan kewajiban-kewajiban yang membatasu keaktifan peserta didik sebagai subjek pembelajar. Pendidikan justru harus mengajarkan cara belajar sehingga peserta didik mampu menyesuaikan dengan perubahan-perubahan  hidup yang terus-menerus menimpa dunia mereka. Di sini kurikulum pendidikan pragmatis lebih banyak didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan proses ketimbang muatan materi.

C.      Filsafat Pendidikan Eksistensialisme

1.      Pengertian Eksistensialisme

Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertian eksistensialisme, yaitu suatu penolakan terhadap segala suatu yang abstrak, tidak logis, atau tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutlakan rasional. Dengan demikian aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman, dan situasi sejarah yang ia alami, dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak dan spekulatif. Baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan hidupnya. (Zuhairini, 2012:31)

2.      Sejarah Eksistensialisme

Eksistensialisme termasuk filsafat pendatang baru. Eksistensialisme pertama kali  dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman, Martin Heidegger (1889-1976). Eksistensialisme merupakan bagian filsafat dan akar metodologinya berasal dari metode fenomologi yang dikembangkan oleh Hussel (1859-1938).

Soren Kierkegaard (1813-1855) secara umum dianggap sebagai filsuf eksistensialis pertama meskipun ia tidak menggunakan istilah eksistensialisme. Kieggard menjawab pertanyaan “Bagaimanakah aku menjadi seorang diri?” Ia menyatakan bahwa setiap individu bertanggung jawab untuk memaknai kehidupan dan menjalani hidup dengan penuh semangat dan "otentik". Eksistensialisme menjadi populer di tahun-tahun setelah Perang Dunia II , dan sangat mempengaruhi banyak disiplin selain filsafat , termasuk teologi, drama, seni, sastra, dan psikologi. Tokoh lainnya adalah Nietzsche (1811-1900), yang mengatakan bahwa Tuhan telah mati, dan Jean Paul Sartre, yang mengatakan “Man is nothing else but what he makes of himself”.

3.      Pandangan Eksistensialisme

Inti ajaran filsafat ini adalah respek terhadap individu yang unik pada setiap orang. Eksistensi mendahului esensi. Manusia lahir dan eksis lalu menentukan dengan bebas esensinya masing-masing.  (Alwashilah, 2014). Karakteristik utama eksistensilisme oleh Peter A. Angeles yang tercantum dalam buku Filsafat Pendidikan Islam karangan Abd. Rahman Assegaf, diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, antara lain:

a.       Eksistensi mendahului esensi;

b.      Kebenaran itu subjektif;

c.       Alam tidak menyediakan aturan moral. Prinsip-prinsip moral dikonstruksi oleh manusia dalam konteks bertanggungjawab atas perbuatan mereka dan perbuatan selainnya;

d.      Perbuatan individu tidak dapat diprediksi;

e.       Individu mempunyai kebebasan berkehendak secara sempurna;

f.        Individu tidak dapat membantu melainkan sekedar membuat pilihan, dan

g.      Individu dapat secara sempurna menjadi selain daripada keberadaannya.

Lebih lanjut, Harold H. Titus mencoba mencari sifat umum eksistensialisme, yang antara lain tampak pada klasifikasi berikut:

a.       Eksistensialisme menekankan kesadaran ada (being), dan eksistensi. Nilai kehidupan tampak melaui pengakuan terhadap individual, yakni “I (aku)” dan bukan It.

b.      Eksistensialisme percaya bahwa tak ada pengetahuan yang terpisah dari subjek yang mengetahui. Kita mengalami kebenaran dalam diri kita sendiri. Kebenaran tidak dapat dicapai secara abstrak. Oleh sebab itu, kaum eksistensialis menggunakan bentuk-bentuk sastra dan seni untuk mengekspresikan perasaan dan hati.

c.       Eksistensialisme menekankan individual, kebebasan, dan pertanggungjawabannya.

d.      Eksistensialis menekankan keputusan dan tindakan, pemikiran dan analisis saja tidaklah cukup. (Assegaf,  2014:131)

Implikasi eksistensialisme dalam kehidupan manusia pada intinya terletak pada sikap subjektivitas dan individualitas manusia. Dengan demikian, orang cenderung bebas berbuat menurut jati dirinya dengan slogan “be your self”. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa aliran eksistensialisme memandang manusia sebagai individu yang bebas. Bebas melakukan dan mendefinisikan dirinya sendiri secara individual. Manusia tidak lain adalah bagaimana dia menjadi dirinya sendiri dan menyadari adanya orang lain, sehingga dapat menciptakan dunianya sendiri yang berarti bagi dirinya dan bagi kehidupan orang lain atau lingkungannya. Hal inilah yang disebut dengan respek terhadap orang lain seperti penjelasan di atas.

Menurut aliran eksistensialisme ini, realitas adalah kenyataan hidup itu sendiri. Untuk menggambarkan realitas, manusia harus menggambarkan apa yang ada dalam diri manusia, bukan yang ada di luar kondisi manusia.

Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi, suatu pandangan yang menggambarkan penampakan benda-benda dan peristiwa-peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut menampakan dirinya terhadap kesadaran manusia. Pengetahuna manusia tergantung kepada pemahamannya tentang realitas, tergantung pada interpretasi manusia terhadap realitas, pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan untuk dapat dijadikan alat perkembangan dan alat pemenuhan diri. Pelajaran di sekolah akan dijadikan alat untuk merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disiplin yang kaku dimana anak harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut. Biarkanlah pribadi anak berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.

Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar. Berbuat akan menghasilkan akibat, dimana seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap akibat akan melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya. Tindakan moral mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri, dan mungkin juga untuk suatu tujuan. Seseorang harus berkemampuan untuk menciptakan tujuannya sendiri. Apabila seseorang mengambil tujuan kelompok atau masyarakat, maka ia harus menjadikan tujuan-tujuan tersebut sebagai miliknya, sebagai tujuan sendiri, yang harus ia capai dalam setiap situasi. Jadi, tujuan diperoleh dalam situasi.

 

4.      Pendidikan dalam kacamata Eksistensialisme

Dalam hal pendidikan, eksistensialisme bisa merepotkan penyelenggara pendidikan, mengingat pendidik tidak bisa menyusun kurikulum dan mengingat perlakuan yang seragam hubungan guru-murid bersifat informal dan proses belajar-mengajar cenderung laissez faire. Maka, bila dicermati, keempat pandangan tentang manusia di atas memberi penekanan pada dimensi dan aspek tertentu dalam diri manusia.

Eksistensialisme sebagai filsafat, sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggungjawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan sangat erat sekali dengan pendidikan, karena keduanya saling bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan (kemerdekaan). Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah keberadaan; manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia. ( Sadulloh, 2014: 135-137).

Menurut A. Chaedar alwashilah, di dalam kelas, guru berperan sebagai fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan memberikan berbagai bentuk jalan untuk dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka kaum eksistensilis menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara utuh, bukan hanya sebagai pembengunan nalar. Sejalan dengan tujuan itu kuriklum menjadi fleksibel dengan menyajikan sejumlah pilihan untuk dipilih siswa. Dapat ditebak bahwa pelajaran-pelajaran humaniora akan mendapat penekanan relatif besar. Kelas mesti kaya dengan materi ajar yang memungkinkan siswa melakukan ekspresi diri, atara lain dalam bentuk karya sastra film, dan drama. Semua itu merupakan alat untuk memungkinkan siswa “berfilsafat” tentang makna dari pengalaman hidup, cinta, dan kematian. Pendidikan vokasional lebih sebagai cara mengajar siswa mengenal dirinya bukan untuk mendapatkan penghidupan. Dalam bidang seni, aliran ini mendorong kreatifitas dan imaginasi siswa bukan sekedar meniru dan membeo apa yang sudah ada. Siswa dilihat sebagai individu, dan belajar seyogianya disesuaikan dengan kecepatan siswa dan siswa mengarahkan belajar untuk kepentingan dirinya sendiri. (A. Chaedar :2014).

Uyoh Sadulloh dalam bukunya Filsafat Pendidikan, menjelaskan tentang implikasi filsafat eksistensialisme dalam pendidikan sebagai berikut:

a.       Tujuan Pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dnegan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secar umum.

b.      Kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu tingkatan kepekaan personal disebut Greene “kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulum  yang memberikan para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.

c.       Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu akan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya.

d.      Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan instrospeksi dan mengenalkan gambaran dirinya.

e.       Pelajar harus didorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan. Eksistensialisme menolak apa yang disebut penonton teori. Oleh karena itu, sekolah harus mencoba membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.

Menurut Kneller (1971), konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya. Menurut Buber kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada kehendak guru, atau pada pengetahuan yang tidak fpeksibel, dimna guru menjadi penguasanya.

Selanjutnya buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh disamakan dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur maka ia hanya akan merupakan perantara yang sederhana antara materi pelajaran dan siswa. Seandainya ia hanya dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan siswa akan menjadi hasil dari transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan menjadi alat dan produk dri pengetahuan tersebut.

Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan suatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.

Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan alam semesta berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri di dalamnya. Kendatipun demikian dengan kebebasan yang kita miliki, masing-masing dari kita harus commit sendiri pada penentuan makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine Greene (Parkay, 1998), seorang filosof pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan pada eksistensialisme “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan situasi-situasi kita jika kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”. Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak orang, tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka suka.

Guru hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menyatakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih alternative-alternatif, sehingga siswa akan melihat bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu, siswa harus menjadi factor dalam suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa harus belajar keras seperti gurunya.

Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relatif dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak member instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistemsialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya. ( Sadulloh, 2014: 135-137).

Menurut Power (1982), yang dikutip oleh Uyoh Sadulloh, beberapa implikasi filsafat pendidikan eksistensialisme adalah sebagai berikut:

a.             Tujuan pendidikan. Memberi bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan.

b.            Status siswa. Makhluk rasional dengan pilihan bebas dan tanggungjawab atas pilihannya. Suatu komitmen terhadap pemenuhan tujuan pribadi.

c.             Kurikulum. Yang diuatamakan adalah kurikulum liberal. Kurikulum liberal merupakan landasan bagi kebebasan manusia. Kebebasan memiliki aturan-aturan. Oleh karena itu, di sekolah diajarkan pendidikan sosial, untuk mengajar “respek” (rasa hormat) terhadap kebebasan untuk semua. Respek terhadap kebebasan bagi yang lain adalah esensial. Kebebasan dapat menimbulkan konflik.

d.            Peranan guru. Melindungi dan memelihara kebebasan akademik, di mana mungkin guru pada hari ini, besok lusa mungkin menjadi murid.

e.             Metode. Tidak ada pemikiran yang mendalam tentang metode, tetapi metode apapun yang dipakai harus merujuk pada tata cara untuk mencapai kebehagiaan dan karakter yang baik. ( Sadulloh, 2014: 135-137).


 

D. Pancasila sebagai filsafat pendidikan Indonesia

1.      Pengertian

Pancasila merupakan dasar negara bangsa Indonesia yang memiliki fungsi dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia tidak saja sebagai dasar negara RI, tetapi juga alat untuk mempersatukan bangsa, kepribadian bangsa, pandangan hidupa bangsa, sumber dari segala sumber hukum positif dan sumber ilmu pengetahuan di Indonesia (Aziz, 1984:70)

Filsafat adalah proses berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran sesuatu. Sementara filsafat pendidikan adalah pemikiran yang mendalam tentang kependidikan berdasarkan filsafat. Filsafat pendidikan juga dapat dimaknai sebaga kaidah filosofis dalam bidang pendidikan yang menggambarkan aspek-aspek pelaksanaan filsafat umum dan menitikberatkan pada pelaksanaan prinsip-prinsip dan keercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan persoalan-persoalan pendidikan secara praktis (Jalaludin, 2007:19).

Pancasila sebagai filsafat pendidikan Indonesia merupakan suatu dasar yang digunakan oleh bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan bangsa Indonesia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjadi acuan atau pedoman pelaksanaan pendidikan diindonesia yang sesuai pada nilai-nilai luhur dan dapat dijadikan dasar untuk mengkritisi permasalahan yang terjadi di praktik pendidikan di Indonesia.

Bagi bangsa Indonesia, keyakinan atau pandangan hidup bangsa dan dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Karenanya sistem pendidikan nasional harus dijiwai, didasari, dan mencerminkan identitas Pancasila itu sendiri. Sistem pendidikan nasional dan sistem filsafat pendidikan  Pancasila adalah subsistem dari sistem negara Pancasila.

Pancasila adalah dasar Negara Indonesia yang merupakan fungsi utama dan dari segi materinya digali dari pandangan hidup dan kepribadian bangsa (Dardodiharjo, 1988.17).Pancasila merupakan dasar Negara yang menjadi cirri khas dan dasar Negara bangsa Indonesia dan dapat membedakan suatu pandangan dari Negara lain. Hal ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk membangun pemikiran mengenai praktik pendidikan yang ada diindonesia dan telah disesuaikan dengan nilai yang harus dibangun kepada setiap rakyat yang bertempat tinggal di Indonesia. Di dalam pancasila terdapat isi yang harus dimaknai oleh peserta didik agar sejalan dengan pendidikan yang diharapkan dan berbasis pancasil, untuk menerapkan nilai-nilai pancasila yang ada di dalamnya diperlukan pemikiran yang sungguh- sungguh  mengenai bagaimana nilai-nilai pancasila itu dapat dilaksanakan, dalam hal hal ini pendidikan tentunya yang berperan utama.

Pancasila sebagai pandangan bangsa Indonesia yang menjiwai dalm system pendidikan nasional Indonesia dengan perkataan lain bila dihubungkan pancasila dengan kenyataan yang ada dalam system pendidikan nasional tidak dapat dipisahkan, karena pendidikan nasional itu, dasarnya adalah pancasila. Hal di atas merupakan alasan mengapa pancasila dijadikan sebagai filsafat pendidikan Indonesia karena sebenarnya bagi Indonesia warga Negara yang pintar tidak cukup untuk menjadikan manusia seutuhnya namun Indonesia ingin mewujudkan bangsa Indonesia yang pintar dean bermoral dengan didasarkan pada aspek nilai-nilai pancasila,

2.      Pendidikan dalam kacamata filsafat pancasila

Suatu pendidikan tidak dapat berdiri sendiri, tapi dipengaruhi oleh politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Pendidikan berperan penting dalam menjamin perkembangan dan kelangsungan hidup bangsa. Maka dari itu, pendidikan diusahakan dan diselenggarakan oleh pemerintah sebagai sistem pengajaran nasional.

Sejak pendidikan itu ada di Indonesia, praktiknya sudah memperhatikan pada nilai-nilai yang ada di dalam pancasila yang isinya mencakup: 1) ketuhanan Yang Maha Esa, 2) kemanusiaan yang adil dan beradab, 3) persatuan Indonesia, 4) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan 5) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Isi dari kandungan tersebut akan berdampak pada beberapa kinerja dari proses pendidikan seperti metode pembelajaran yang akan dilaksanakan, pendekatan dalam proses pendidikan dan materi yang akan disampaikan oleh siswa, hal itu tidak akan terlepas dari nilai-nilai pancasila yang harus termuat dan diselipkan dari setiap pendidikan yang diberikan agar sesuai dengan tujuan bangsa Indonesia yang tidak hanya mencerdaskan bangsanya namun juga mencerdaskan moral agar berbudi yang sesuai dengan pancasila. Penyesuaian antara pendidikan apa yang akan diberikan dengan kandungan dari pancasila itu sendiri membuat adanya kesesuaian dengan tujuan dari bangsa Indonesia.

Tujuan khusus dari pendidikan Indonesia yaitu mengembangkan setiap potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik dari aspek secara keseluruhan baik kognitif, afektif dan psikomotorik, sedangkan kita tahu bahwa setiap manusia itu unik dan memiliki potensi yang berbeda-beda dan untuk membentuk potensi yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia maka harus benar-benar dilandaskan pada pancasila yang telah memberikan sarana sebagai acuan dari segala kehidupan bangsa Indonesia khususnya dalam bidang pendidikan.

Maka dari itu, sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi, pelajaran Pancasila masih diberikan, agar nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila benar-benar diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, untuk tercapainya tujuan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila, Hal itu membuktikan bahwa pancasila sangat berdampak besar bagi terbentuknya generasi-generasi unggul Indonesia yang luas akan pengetahuannya dan memiliki moral yang baik sehingga akan mewujudkan masyarakat yang berkualitas dan mampu untuk memfiltrasi pengaruh negatiif dari perkembangan zaman yang saat ini telah dibawa oleh budaya barat, tetapi dengan adanya pendidikan yang berlandaskan pancasila maka generasi Indonesia akan mampu untuk membentuk benteng dalam dirinya untuk tetap bernilai pancasila dan tidak akan terpengaruh begitu saja dari pengaruh negatif dari luar yang membuat sesuatu yang dapat menghilangkan cerminan dari bangsa indonesia itu pudar.

Dari setiap butir pancasila dapat ditemukan bahwa setiap butirnya memiliki tujuan yang sesuai sebagai dasar pelaksanaan pendidikan yang berkarakter dan berkualitas secara kognitif maupun moralnya, uraian nya sebagi berikut :

a.       Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Pendidikan memilih pancasila sebagai dasar pendidikan karena pendidikan harus mampu menngutamakan hal-hal yang dapat memperkuat nilai-nilai keimanan bagi peserta didik agar selalu taqwa dan beriman sesuai dengan kepercayaannya masing-masing, selain itu agar peserta didik mampu memaknai suatu pendidikan dengan didasarkan pada kewajiban mereka sebagai makhluk tuhan untuk selalu menuntut ilmu dan dengan adanya pendidikan yang didasarkan pada sila ini maka output yang akan dihasilkan yaitu terciptanya insan atau peserta didik yang berakhlak mulia.

b.      Sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Pendidikan menjadikan pancasila sebagai dasar pendidikan karena pendidikan harus mampu membentuk setiap peserta didik yang mampu untu memberikan perlakuan sebagaimana layaknya manusia dan nantinya seseorang yang telah mendapatkan pendidikan itu dapat menghargai hak manusia yang sesuai dengan makna dari sila ini, ketika seseorang dapat memahami hak dan kewajiban diri sendiri dan orang lain maka orang tersebut mampu memberikan perlakuan yang sesuai sehingga menjadikan setiap manusia menjadi beradab dan dapat memperlakukan setiap manusia sama tanpa pandang bulu.

c.       Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Pendidikan menjadikan pancasila sebagai dasar pendidikan  karena pendidikan harus mampu untuk menjadikan peserta didiknya dapat bersatu dengan peserta didik lainnya, hal Ini menunjukkan bahwa ketika terjadinya proses pendidikan maka ada saat mereka harus belajar dari lingkungan sosialnya, dari lingkungan sosial yang ada maka ia akan belajar sendiri menengenai pengetahuan maupun nilai-nilai yang ada  dalam suatu masyarakat dan  hal ini memungkinkan setiap orang untuk bersatu dan meminimalisir adanya diskrimantif antar perbedaan yang menjadi corak dari bangsa Indonesia, sehingga terbuktilah dengan adanya semboyan Bhineka Tunggal Ika yang dapat dimaknai bahwa bangsa Indonesia memiliki keberagaman sehingga di dalam proses pendidikan harus ada proses saling bertukar pengetahuan dan sebagainya yang menungkinkan setiap orang dapat menjalin kebersatuan untuk memenuhi suatu kebutuhan pendidikan.

d.      Sila keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Pendidikan menjadikan pancasila sebagai dasar pendidikan karena mengharuskan suatu pendidikan dapat menjadikan setiap orang menjadi lebih demokratis,aktif, dan kritis di dalam memberikan solusi pada setiap masalah yang sedang terjadi di Indonesia, tetapi dalam pandangan yang lain dapat dikatakan bahwa di dalam proses pendidikan mengharapkan memunculkan output cendekiawan yang mampu mengkritisi segala permasalahan yang dapat mengancam keutuhan NKRI hal ini dapat dilakukan dengan usaha dari dalam maupun dari luar, maka biasannya pendidikan di 3 pusat lingkungan tersebuut telah memberikan bergai usaha agar seseorang dapat lebih kritis lagi seperti dimasyarakat bahwa terdapat organisasi yang memungkinkan partisipasi oleh setiap orang untuk mengatasi hal-hal yang bersangkutan dengan program atau kinerja dari setiap organisasi tersebut, adanya penyuluhan mengenai pemilu dan sebagainya.

e.       Sila kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan menjadikan pancasila sebagai dasar pendidikan karena mengungkapkan secara abstrak bahwa suatu pendidikan harus mampu menciptakan bibit yang mampu memberikan keadilan sosial bagi lingkungan yang ditempati nya dalam arti bahwa ketika seseorang sedang berbaur dengan temannya maka orang itu tidak boleh membedakan yang satu dengan yang lainnya.sehingga biasanya hal yang dapat dilakukan yaitu dengan menanamkan sejak kecil bahwa seseorang tidak bisa hidup sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain, sehingga jika memilih teman harus adil dan tidak boleh memnadang pangkat maupun derajatnya.

 

3.      Implikasi pancasila sebagai filsafat pendidikan indonesia dalam praktik pendidikan

Implikasi filsafat Pancasila bagi pendidikan nasional, yakni tercapainya dasar dan tujuan pendidikan yang berdasarkan pada nilai-nilai ideal Pancasila. Implikasi lainnya adalah dalam rangka menentukan program kurikulum, dan dalam kurikulum tujuan pendidikan harus tergambar dengan jelas. Program tersebut mencerminkan arah dan tujuan yang hendak dicapi dalam proses pendidikan. Dalam kurikulum tidak saja dijabarkan serangkaian ilmu pengetahuan yang harus diajarkan oleh guru kepada siswa, akan tetapi juga segala kegiatan yang bersifat pedagogis (mendidik), seperti yang tertuang dalam Pancasila.

Filsafat pancasila telah menjadikan dasar terselenggarannya praktik pendidikan dan sebagai sarana mewujudkan tujuan pendidikan Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan harus mempunyai dasar untuk menyusun program dan terlaksannya suatu pendidikan yang berkualitas dan sesuai pada dasar Indonesia itu sendiri yaitu pancasila.

Berikut ini adalah implementasi pancasila sebagai filsafat pendidikan Indonesia :

a.       Sesuai dengan sila pertama yaitu ketuhanan Yang Maha Esa maka suatu  Misalnya :

1)      sebelum memulai dan mengakhiri pelajaran guru harusnya mengajak siswa untuk berdoa terlebih dahulu.

2)      Di dalam proses pembelajaran guru menyelipkan nilai-nilai ketuhanan pada setiap isi materi seperti halnya siswa di ajarkan untuk selalu bersyukur terhadap ciptaan tuhan,contoh : alam, makhluk hidup, adanya system pernapasan dan sebagainya.

3)      Membiasakan adanya jam untuk beribadah sesuai dengan agama masing-masing.

b.      Sesuai dengan sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab maka dapat implikasi di dalam kelas adalah :

1)            Guru memperlakukan siswa dengan baik tanpa menggunakan kekerasan baik secara lisan maupun perbuatan.

2)            Guru memberikan sarana dan prasarana untuk mengembangkan potensi yang ada dalam peserta didik.

3)            Guru memberikan apresiasi kepada siswa yang mampu mengerjakan tugasnya dengan baik.

4)            Guru memahami potensi yang ada pada setiap peserta didik.

c.       Sesuai dengan sila ke tiga yaitu persatuan Indonesia :

1)            guru mampu menciptakan situasi yang menimbulkan kerjasama didalam belajar, antara anak dengan anak, antara anak dengan guru, begitu pula antara sesama guru (diskusi, presentasi dan pengajaran pola kolabarasi)

2)            dengan diadakannya upacara bendera setiap hari senin maka dapat mempersatukan peserta didik.

3)            Mengadakan program ekstrakurikuler, pramuka, calss meeting, kerja bakti dan sebagainya yang bertujuan untuk mempersatukan peserta didik satu dengan lainnya.

d.      Sesuai dengan sila ke empat yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan :

1)      Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpendapat dalam setiap proses pembelajaran.

2)      Adanya pemilihan pengurus kelas dengan cara musyawarah dan voting.

3)      Guru mampu memberikan solusi terhadapan kesulitan belajar siswa baik secara materi maupun metode yang digunakan di dalam kelas.

e.       Sesuai dengan sila ke lima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam sila itu Contohnya :

1)            Guru tidak membeda bedakan peserta didik yang satu dengan yang lainnya dalam hal pemberian sangsi, materi dan bimbangan saat proses pembelajaran.

2)            Dalam penerimaan siswa baru, sekolah tidak memprioritaskan uang sumbangan yang lebih besar.

3)            Seorang siswa tidak memilih milih teman, ia mampu berteman dengan siapa saja dan berlaku adil kepada semua temannya.

 

BAB III

SIMPULAN

A.     Filsafat Pendidikan Realisme

Pendidikan dalam realisme memiliki keterkaitan erat dengan pandangan John Locke bahwa akan-pikir jiwa manusia tidak lain adalah “tabula rasa”, ruang kosong serupa kertas putih yang perlu menerima perlakuan dari lingkungan. Oleh karena itu, pendidikan dipandang dibutuhkan untuk membentuk setiap individu agar mereka menjadi apa yang dipandang baik. Dengan demikian, pendidikan dalam realisme kerap didentikkan sebagai psikologi behaviorism dalam ruang pengajaran.

Murid dipandang sama sekali tidak mengetahui apapun kecuali apa-apa yang telah pendidikan berikan. Di sini dalam pengajaran realisme, siswa menjadi subjek didik yang tak berbeda dengan robot. Ia mesti tunduk dan patuh sepatuh-patunya untuk diprogram oleh materi-materi yang telah ditetapkan sedemikian rupa.

Di akhir prose pendidikan, realisme berharap manusia sukses dibentuk untuk hidup dalam nilai-nilai yang telah menjadi common sense sehingga manusia mampu beradaptasi dengan lingkungan yang ada. Sisi buruk pendidikan model ini adalah banyak dikendalikan skeptisisme positivistic, yaitu mereka dalam hal apa pun cenderung meminta bukti dalam bentuk-bentuk yang bisa didemonstrasikan secara inderawi.

Realisme juga berjasa bagi perkembangan dunia pendidikan yaitu pengembangan media pembelajaran.Temuan Crezh, seorang pendidik di Mosenius pada abad ke-17 dengan karya Orbic Pictur-nya, sempat mengejutkan dunia pendidikan dan dipandang sebagai gagasan baru. Ini karena pada saat itu belum ada satu pun memiliki pemikiran untuk memasukkan alat bantu visual seperti gambar-gambar perlu digunakan dalam pengajaran anak, terutama dalam mempelajari bahasa. Di abad selanjutnya, yaitu ke-18 menjelang abad 19, gagasan Moravi menginspirasi Pestalozzi untuk menghadirkan objek-objek peraga fisik dalam ruang pengajaran di dalam kelas.

Corak lain kecenderungan pendidikan realisme adalah adalah kuatnya tekanan-tekanan yang mengarahkan kepada keteraturan yang bersifat mekanistik, apa yang diterapkan realisme ke dalam ruang belajar dipandang melahirkan berbagai hal yang kemudian menuai banyak kecaman sebab dinilai telah menjadi penyebab dehumanisasi.

Berdasarkan aliran realisme, maka tujuan pendidikan akan dirumusakan sebagai upaya pengembangan potensi-potensi yang ada dan dimiliki oleh peserta didik untuk menjadi seoptimal mungkin. Menurut Realisme, yang dimaksud dengan hakikat kenyataan suatu benda itu berada pada ”hal” atau ”benda” itu sendiri. Jadi, bukan bagaimana benda itu dinilai dari luar. Oleh karena itu, wajar bila yang menjadi perhatian pertama dalam pendidikan adalah apa yang ada pada peserta didik .

Berikut ini adalah beberapa pandangan Filsafat realisme terhadap pendidikan:

a.       Tujuan Pendidikan. Tujuan-tujuan pendidikan dalam aliran realisme adalah supaya peserta didik mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan dapat melaksanakan tang jawab sosial. Kurikulum berisi unsur-unsur pendidikan untuk mengembangkan kemampuan berfikir dan pendidikan praktis untuk kepentingan bekerja. Kurikulum berisi semua pengetahuan yang berguna dalam menyesuaikan diri dan membentuk tanggung jawab sosial.

b.      Inisiatif dalam pendidikan harus ditekankan pada pendidik bukan pada anak. Peranan pendidik adalah menguasai pengetahuan, keterampilan teknik-teknik pendidikan dengan kemampuan untuk mencapai target pendidikan yang dibebankan kepadanya.

c.       Inti dari proses pendidikan adalah asimilasi dari materi yang telah ditentukan. Kurikulum diorganisasikan dan direncanakan dengan pasti oleh guru.

d.      Semua kegiatan belajar dilakukan melalui pengalaman, baik langsung maupun tidak langsung. Metode mengajar hendaknya bersifat logis, bertahap atau berurutan. Pembiasaan menjadi metode pokok yang dipergunakan baik oleh kalangan penganut realisme maupun behaviorisme.

e.       Sangat penting untuk menegakkan aturan dan tata cara yang baik dalam belajar. Peserta didik perlu mempunyai disiplin mental dan moral.

 

B.     Filsafat Pendidikan Pragmatisme

Penekanan utama pragmatisme dalam pendidikan selalu dilandaskan bahwa peserta didik bukanlah objek, melaikan subjek yang memiliki pengalaman. Subjek didik adalah individu yang mampu mengalami sehingga mereka berkembang dan berinisiatif dalam mengatasi problem-problem hidup. Terkait lingkungan pendidikan, pragmatisme menilai bahwa situasi di sekolah dan situasi di luar sekolah adalah sama-sama bagian dari pengalaman hidup, kehidupan di sekolah bukan bagian dari persiapan untuk menjalani hidup.

Pragmatisme memandang bahwa pelajar harus menghadapi problem yang memicu lahirnya tindakan dari pemikiran yang sangat reflektif, sehingga kecerdasan peserta didik akan melahirkan pertumbuhan yang membuat mereka mampu beradaptasi dengan dunia yang selalu berubah.

Pendidikan pragmatisme kerap dianggap sebagai pendidikan yang mencanangkan nilai-nilai demokrasi di dalam kelas. Dasar pemikirannya adalah bahwa setiap orang dalam suatu masyarakat memiliki kesempatan untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan pendidikan yang ada. Karena pendidikan  bukan ruang yang terpisah dari sosial, maka berlaku pula kaidah-kaidah mengenai pentingnya aspirasi.

Guru dalam pragmatisme sangat berbeda dengan guru dalam pendidikan tradisional otoritatif yang menekankan pentingnya kepatuhan siswa. Dalam pendidikan pragmatism, guru mendapingi subjek didik sebagai pengarah atau pemandu aktivitas dengan cara menawarkan pertimbangan-pertimbangan yang bersumber dari pengalaman guru yang lebih luas dari pengalaman peserta didik.

Pengajaran pragmatisme sangat berbeda dengan pengajaran tradisional yang formal dan kaku. Pendidikan pragmatisme justru sering dilakukan di luar ruangan, di alam terbuka, dan di berbagai tempat yang disukai peserta didik. Metode pengajaran dalam pragmatisme selalu menekankan bahwa pengalaman adalah hal yang utama. Oleh karena itu, upaya pengajaran dilakukan selalu menjadi sesuatu yang dekat dengan hidup. Seseorang yang hendak belajar tentang pertanian akan dibawa langsung di area tempat kegiatan-kegiatan pertanian dilakukan. Guru menjadi pendamping atau pemandu yang sesekali menjelaskan dan memberi nasihat bagi para subjek didik. Metode ini popular dengan nama metode eksperimental.

Kebijakan-kebijakan sekolah selalu menjadi kebijakan liberalisme, dalam artian mereka tidak pernah khawatir dengan perubahan-perubahan sosial. Bagi mereka, perubahan adalah kenyataan hidup yang tidak mungkin dibendung. Maka pendidikan harus mengajarkan bagaimana mengelola perubahan dengan cara yang sehat. Sekolah tidak perlu membebani subjek didik dengan beban-beban yang tidak produktif seperti menghafal dan kewajiban-kewajiban yang membatasu keaktifan peserta didik sebagai subjek pembelajar. Pendidikan justru harus mengajarkan cara belajar sehingga peserta didik mampu menyesuaikan dengan perubahan-perubahan  hidup yang terus-menerus menimpa dunia mereka. Di sini kurikulum pendidikan pragmatis lebih banyak didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan proses ketimbang muatan materi.

C.      Filsafat Pendidikan Eksistensialisme

a.       Menurut Power (1982), yang dikutip oleh Uyoh Sadulloh, beberapa implikasi filsafat pendidikan eksistensialisme adalah sebagai berikut:

b.      Tujuan pendidikan. Memberi bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan.

c.       Status siswa. Makhluk rasional dengan pilihan bebas dan tanggungjawab atas pilihannya. Suatu komitmen terhadap pemenuhan tujuan pribadi.

d.      Kurikulum. Yang diuatamakan adalah kurikulum liberal. Kurikulum liberal merupakan landasan bagi kebebasan manusia. Kebebasan memiliki aturan-aturan. Oleh karena itu, di sekolah diajarkan pendidikan sosial, untuk mengajar “respek” (rasa hormat) terhadap kebebasan untuk semua. Respek terhadap kebebasan bagi yang lain adalah esensial. Kebebasan dapat menimbulkan konflik.

e.       Peranan guru. Melindungi dan memelihara kebebasan akademik, di mana mungkin guru pada hari ini, besok lusa mungkin menjadi murid.

f.        Metode. Tidak ada pemikiran yang mendalam tentang metode, tetapi metode apapun yang dipakai harus merujuk pada tata cara untuk mencapai kebehagiaan dan karakter yang baik. ( Sadulloh, 2014: 135-137).

D. Pancasila sebagai filsafat pendidikan Indonesia

Implikasi filsafat Pancasila bagi pendidikan nasional, yakni tercapainya dasar dan tujuan pendidikan yang berdasarkan pada nilai-nilai ideal Pancasila. Implikasi lainnya adalah dalam rangka menentukan program kurikulum, dan dalam kurikulum tujuan pendidikan harus tergambar dengan jelas. Program tersebut mencerminkan arah dan tujuan yang hendak dicapi dalam proses pendidikan. Dalam kurikulum tidak saja dijabarkan serangkaian ilmu pengetahuan yang harus diajarkan oleh guru kepada siswa, akan tetapi juga segala kegiatan yang bersifat pedagogis (mendidik), seperti yang tertuang dalam Pancasila.

Filsafat pancasila telah menjadikan dasar terselenggarannya praktik pendidikan dan sebagai sarana mewujudkan tujuan pendidikan Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan harus mempunyai dasar untuk menyusun program dan terlaksannya suatu pendidikan yang berkualitas dan sesuai pada dasar Indonesia itu sendiri yaitu pancasila.

Berikut ini adalah implementasi pancasila sebagai filsafat pendidikan Indonesia :

1)      Sesuai dengan sila pertama yaitu ketuhanan Yang Maha Esa maka suatu  Misalnya :

a)      sebelum memulai dan mengakhiri pelajaran guru harusnya mengajak siswa untuk berdoa terlebih dahulu.

b)      Di dalam proses pembelajaran guru menyelipkan nilai-nilai ketuhanan pada setiap isi materi seperti halnya siswa di ajarkan untuk selalu bersyukur terhadap ciptaan tuhan,contoh : alam, makhluk hidup, adanya system pernapasan dan sebagainya.

c)      Membiasakan adanya jam untuk beribadah sesuai dengan agama masing-masing.

2.      Sesuai dengan sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab maka dapat implikasi di dalam kelas adalah :

a)      Guru memperlakukan siswa dengan baik tanpa menggunakan kekerasan baik secara lisan maupun perbuatan.

b)      Guru memberikan sarana dan prasarana untuk mengembangkan potensi yang ada dalam peserta didik.

c)      Guru memberikan apresiasi kepada siswa yang mampu mengerjakan tugasnya dengan baik.

d)      Guru memahami potensi yang ada pada setiap peserta didik.

3.      Sesuai dengan sila ke tiga yaitu persatuan Indonesia :

a)            guru mampu menciptakan situasi yang menimbulkan kerjasama didalam belajar, antara anak dengan anak, antara anak dengan guru, begitu pula antara sesama guru (diskusi, presentasi dan pengajaran pola kolabarasi)

b)            dengan diadakannya upacara bendera setiap hari senin maka dapat mempersatukan peserta didik.

c)            Mengadakan program ekstrakurikuler, pramuka, calss meeting, kerja bakti dan sebagainya yang bertujuan untuk mempersatukan peserta didik satu dengan lainnya.

4.      Sesuai dengan sila ke empat yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan :

a)      Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpendapat dalam setiap proses pembelajaran.

b)      Adanya pemilihan pengurus kelas dengan cara musyawarah dan voting.

c)      Guru mampu memberikan solusi terhadapan kesulitan belajar siswa baik secara materi maupun metode yang digunakan di dalam kelas.

 

 

5.      Sesuai dengan sila ke lima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam sila itu Contohnya :

a)        Guru tidak membeda bedakan peserta didik yang satu dengan yang lainnya dalam hal pemberian sangsi, materi dan bimbangan saat proses pembelajaran.

b)        Dalam penerimaan siswa baru, sekolah tidak memprioritaskan uang sumbangan yang lebih besar.

c)        Seorang siswa tidak memilih milih teman, ia mampu berteman dengan siapa saja dan berlaku adil kepada semua temannya.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Alwashilah, A. Chaedar. 2014. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

 

Assegaf, Abd. Rahman. 2014. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: RajaWali Pers.

 

Kaelan. 1996. Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

 

Marimba, Ahmad D. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT. Al-Ma’arif.

 

Mudyahardjo, Redja. 2008. Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.

 

Sadulloh, Uyoh. 2012. Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

 

Sugiono & Muis, Tamsil. Filsafat Pendidikan  (Teori dan Praktek).  2012. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.

 

Suhartono, Suparlan. 2007. Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

 

Setyaningsih, Trisna. 2012. Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Pendidikan. trisna-setianingsih.blogspot.com/2012/12/Implementasi-Nilai-Nilai-Pancasila.html?m=1. Diakses tanggal 22-11-2015 pukul10:23

 

Teguh Wangsa Gandhi HW. 2001. Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan. Penerbit: Ar-Ruzz Media.

 

Zuhairini. 2012. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

0 comments:

Posting Komentar