BAB I
PENDAHULUAN
Ada banyak buku yang menjelaskan dan menganalisis sistem
edukasi di berbagai negara, sayangnya masih sedikit referensi yang menjelaskan
mengenai sistem-sistem kebijakan pendidikan. Nyaris tidak ada satupun buku yang
menyajikan kumpulan studi kebijakan pendidikan negara-negara yang disebutkan
dalam buku ini yaitu Australia, Prancis, Jepang, Swedia, Inggris, Amerika, dan
Jerman Barat.
Ada
dua maksud dalam penulisan buku ini,
1. Untuk mengisi kekosongan
literatur,
2. Berdasarkan pengamatan penulis
terhadap situasi pendidikan di tahun-tahun terakhir ini taerjadi perubahan yang
sangat besar dalam sistem ekonomi dan sistem sosial di berbagai negara diseluruh
dunia, terutama di negara-negara yang dibahas dalam buku ini, terjadi pertumbuhan
dan perubahan yang sangat besar dalam reorientasi kebijakan pendidikan. Dengan
terjadinya krisis minyak dunia maka upaya
peningkatan kesejahteraan nampak terhenti seiring menurunnya pertumbuhan
ekonomi. Kebijakan ekonomi di negara-negara tersebut cenderung melahirkan banyaknya
pengangguran atau peningkatan inflasi selama bertahun-tahun.
Konteks
Pada tahun-tahun lahirnya krisis ekonomi, lahir pula
ketidakpercayaan terhadap sistem pendidikan. Masyarakat mempertanyakan apakah
nilai-nilai universal yang diajarkan para pendidik dan nilai-nilai sosial yang
dianut oleh masyarakat adalah hal yang perlu dipertahankan? Jika demikian, kenapa semakin banyak generasi
muda yang menjadi terasing oleh sistem pendidikan? Kenapa kita masih membaca di media dan
melihat di layar televisi terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh pelajar?
Sektor pendidikan adalah sektor yang sangat menguras anggaran, maka sektor ini
tidak mampu menghindar dari efek depresi ekonomi.
Tujuan
Tujuan penulisan buku ini tidak hanya untuk menjelaskan
kebijakan pendidikan di tujuh negara yang dibahas, tetapi untuk menjelaskan pengembangan
kebijakan yang berpengaruh sepanjang masa dalam hubungannya dengan kepentingan
sosial dan ekonomi suatu negara. Buku ini mengeksplorasi dan membandingkan
pengaruh kebijakan pendidikan di dunia
modern, yaitu dunia dimana terjadi peningkatan komunikasi dan informasi.
Perubahan ini membuat negara negara tidak dapat lagi mengisolasi diri dari perkembangan
pendidikan yang saling mempengaruhi.
Studi
Komparatif
Di dunia pendidikan, studi perbandingan sistem antar
negara bukanlah hal yang baru, baik yang membandingkan institusi-instritusi
pendidikan hingga membandingkan sistem-sistem yang lebih luas. Tema yang diangkat dalam buku ini adalah
interaksi antara sektor pendidikan dengan masyarakat luas, sehingga membantu
kita memahami karakter sebuah negara dan menghargai sistem pendidikannya.
Kebijakan pendidikan dan para pembuat kebijakan tersebut akan terlihat bereaksi
terhadap trend-trend nasional dan pengaruh-pengaruh internasional.
Studi komparatif pendidikan menunjukkan trend yang
berlangsung pada berbagai bidang pendidikan, misalnya pada bidang sejarah, sosiologi,
politik dan ekonomi. Tujuan primer penelitian di bidang ini adalah untuk
membantu pengambilan keputusan dan kebijakan yang berdampak langsung terhadap
perencanaan pendidikan dan perubahan kebijakan.
Tantangan Kebijakan Sepanjang Periode 1980an
Di awal tahun 80-an, perhatian pemerintah tertuju pada
bagaimana membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem, yaitu bahwa sistem
yang ada ini menjamin terjadinya kemajuan dan kesejahteraan. Banyak negara
mengalami krisis kepercayaan multidimensi. Hal ini sangat berbahaya jika
dibiarkan berkepanjangan, kebijakan baru harus disusun dan diimplementasikan
yaitu mengembangkan potensi pendidikan tinggi untuk diarahkan membangun ekonomi
dan kesejahteraan masyarakat melalui budaya saintifik dan teknologi.
Konferensi
kebijakan pendidikan telah diadakan untuk membahas tantangan yang harus
dihadapi oleh kebijakan pendidikan periode tahun 80-an pada jenjang pendidikan
tinggi. Tantangan-tantangan tersebut diantaranya:
1.
Merespon kebutuhan-kebutuhan baru pada level
lokal dan komunitas
2. Merevitalisasi ekonomi dengan cara
memproduksi manusia-manusia yang tepat dan berkualifikasi tinggi untuk
berkontribusi sebagai tenaga kerja dalam konteks pesatnya perkembangan
teknologi
3. Membangun teknologi inovasi dengan
pesat melalui riset-riset saintifik
4. Mempromosikan kesejahteraan sosial
untuk mengatasi situasi krisis ekonomi yang dihadapi masyarakat.
5.
Struktur Buku
Tujuh negara yang dipilih oleh penulis buku ini adalah
negara-negara yang sedang mengembangkan sistem pendidikannya untuk menghadapi berbagai tantangan kebijakan
pendidikan. Buku ini menyumbang karya tulis faktual mengenai negara-negara yang
sudah dikunjungi oleh penulis secara langsung maupun tidak langsung.
Para penulis yang dimuat di sini dapat dianggap sebagai
pakar kebijakan pendidikan di tujuh negara yang dipilih dalam buku ini, mereka
adalah pelaku sistem pendidikan nasional pada level yang sangat senior. Ketujuh
penulis ini telah menetap dan mempelajari sistem pendidikan sehingga mampu
menyajikan data-data dan tulisan sebagai representasi senior dari Kementerian
Pendidikan Nasional negaranya.
Peran penulis buku ini secara praktis lebih terlihat
sebagai editor, yaitu membuat struktur outline dan menyajikan essay analisis yang
mengkompromikan tulisan-tulisan mengenai pendekatan kebijakan yang berbeda-beda
di negara-negara tersebut, demikianpun editor tidak dapat sebebasnya melakukan
penilaian subyektif karena buku ini harus tetap memelihara fleksibilitas tulisan
para kontributor supaya bisa mempertahankan keunikan dan rasa karya tulis masing-masing
kontributor.
BAB II
KAJIAN BUKU
A.
Isu-Isu Konseptual Dan Teoritis
1.
Kebijakan
Istilah ‘kebijakan’ masih membutuhkan pengejawantahan
yang lebih lanjut, istilah ini digunakan dengan berbagai cara untuk menyatakan
seperangkat fenomena yang rumit. Banyak penulis tidak yang membedakan antara
pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan.
Kebijakan
publik terjadi dalam berbagai bidang, termasuk di bidang pendidikan. Kebiakan
dapat lahir dalam berbagai bentuk dan dapat diarahkan untuk berbagai tujuan.
Sebagian kebijakan dapat lahir dalam bentuk peraturan kementerian, sebagan
kebijakan lainnya ditetapkan melalui legislasi atau regulasi, sedangkan
kebijakan lainnya berupa isu-isu yang diangkat oleh menteri atau pejabat
senior.
Dilihat
dari isinya, kebijakan publik untuk pendidikan dapat dikelompokkan menjadi empat
kategori.
1.
Kebijakan mengenai fungsi dasar sekolah dan
institusi pendidikan, sebagian besar kebijakan ini terkait dengan kurikulum,
penetapan tujuan, perekrutan siswa ujian, siswa penghargaan atau sertifikat,
diploma dan gelar, dan bidang studi
2.
Kebijakan mengenai penetapan struktur dan
pemerintahan, institusi pendidikan, dan keseluruhan sistem pendidikan
3.
Kebijakan mengenai perekrutan, promosi, supervisi
dan numerasi staff
4.
Kebijakan yang berhubungan dengan alokasi
keuangan dan fasilitas
2.
Proses Kebijakan
Pembahasan buku ini akan memfokuskan bagaimana
masalah-masalah kebijakan ditangani berdasarkan karakteristiknya dan bagaimana
respon yang dikembangkan. Dalam melakukan ini penulis menggunakan istilah
‘proses kebijakan’ daripada konsep tradisional mengenai ‘pembuatan kebijakan’, alasannya
karena penulis percaya bahwa kebijakan publik adalah mengenai transformasi
konflik sumber daya dan tata nilai masyarakat menjadi aksi dalam ruang-ruang
yang diizinkan. Sementara konsep pembuatan kebijakan ini terfokus secara
eksklusif kepada elemen keputusan yang melibatkan serangkaian tahap yang meliputi
sebuah siklus, yaitu siklus ketika sebuah program dijalankan hingga dihentikan
atau berubah menjadi program baru.
Biasanya kebijakan-kebijakan baru di dunia pendidikan
lahir sebagai gabungan atau variasi kebijakan lama, artinya sebuah kebijakan
baru biasanya sebuah kebijakan pemerintah yang betul-betul baru, tetapi hanya
merupakan sebuah penyesuaian dan penggantian kebijakan yang ada. Pada setiap
tahap proses kebijakan selalu ada ketidaksinkronan dan konflik dukungan
sehingga tidak ada jaminan sebuah kebijakan selalu menghasilkan kesuksesan. Seringkali
tindakan yang dipilih pada setiap tahap menjadi stimulus lahirnya tatanan baru
untuk perubahan atau penggantian kebijakan.
Empat
tahapan dalam proses kebijakan
1.
Mengenali isu-isu dan mengidentifikasi
masalah
2.
Formulasi dan otorisasi kebijakan
3.
Interpretasi kebijakan dan aplikasinya ke
dalam berbagai kasus
4.
Penghentian atau pengubahan kebijakan
Pendidikan
dalam arti sempit lebih mengacu kepada pendidikan formal yang diselenggarakan
oleh sebuah institusi daripada proses tumbuh kembang utuh sepanjang hayat. Penulis
membatasi fokus pembahasan buku ini pada jenjang pendidikan dasar dan lanjutan.
3.
Konteks Kebijakan
kebijakan dikembangkan melalui konteks-konteks tertentu,
diantaranya adalah tata nilai, tantangan dan masalah, dan melalui paket
kesepakatan tertentu. kebijakan juga merupakan respon terhadap masalah
kebutuhan dan aspirasi
4.
Pengembangan Dan Penerapan Kebijakan
Supaya kita mampu menghargai masalah-masalah kebijakan
dengan lebih baik, kita perlu memiliki pemahaman mengenai aktor-aktor utama
yang terlibat dalam kebijakan tersebut, dan memahami karakteristik
langkah-langkah dalam mengembangkan dan menerapkan kebijakan pendidikan
tersebut.
5.
Aktor Kebijakan
Dalam meninjau konflik keberagaman komunitas, kita perlu melihat
bagaimana peta kekuatan-kekuatan dalam keputusan-keputusan kebijakan pendidikan.
Salah satu peta kondisi yang paling ekstrim adalah situasi dimana peran pemerintah
sangat pasif terkait kebijakan pendidikan, yaitu evolusi kebijakan diserahkan
kepada Persatuan Guru, asosiasi orang tua, para karyawan dan pihak-pihak yang
berkepentingan lainnya. Pada sisi ekstrem lainnya ada pandangan bahwa kebijakan
pendidikan sangat bergantung kepada selera kementerian pendidikan atau pejabat
yang berkuasa. Kedua pandangan ekstrem ini mengandung kebenaran namun tidak
sepenuhnya benar. Pada kenyataannya ada sangat banyak aktor yang terlibat dalam
formulasi kebijakan yang mempengaruhi kekuatan kekuatan formal supaya berbagi
kepentingan dengan para aktor partisipan tersebut.
Para
aktor kebijakan yang terlibat dengan kebijakan pendidikan dapat dibagi kedalam
dua kelompok yaitu official dan unofficial.
1.
Aktor official adalah orang-orang atau
organisasi yang memiliki tanggung jawab legal,
2.
Aktor non official biasanya kelompok-kelompok
yang berkepentingan, partai politik dan media
Aktor
official dapat dikelompokkan ke dalam lima golongan.
1.
Aktor-aktor pada level senior pemerintahan
yaitu kepala negara, parlemen, perdana menteri kabinet, dan partai politik baik
pendukung pemerintah maupun bukan pendukung.
2.
Aktor official Kementerian Pendidikan dan
dinas-dinas terkait yang memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi kinerja
pendidikan.
3.
Kelompok official para agen pendidikan yang
bertanggung jawab dalam tugas-tugas penyelenggaraan Ujian Nasional,
pengembangan kurikulum, dan pengembangan guru
4.
Lembaga pemerintah di luar dunia pendidikan
yang memainkan peran sebagai pengembang dan pelaksana kebijakan pendidikan
diantaranya adalah departemen-departemen yang memberikan saran dari sudut
kepentingan ketenagakerjaan kemasyarakatan.
5.
kelompok ke-5 dari aktor official adalah
asosiasi-asosiasi pendidikan.
Aktor-aktor informal yang utama adalah kelompok-kelompok
yang berkepentingan, partai politik, dan media. Kelompok yang memegang peranan
penting dalam kategori unofficial ini adalah asosiasi guru yang terdiri dari
para guru, kepala sekolah, bahkan dari perwakilan pelajar. Kelompok ini
mengangkat topik yang sangat luas dengan berbagai fokus pendidikan dan
merundingkannya dengan pemangku kebijakan.
Mengenai media massa, di banyak negara, media semakin
tertarik dengan kebijakan pendidikan dan melakukan mekanisme pemenuhan kebutuhan
publikasi di bidang pendidikan. Sayangnya kebanyakan media sangat miskin
informasi dan kurang mampu merefleksikan pemikiran-pemikiran pendidikan.
Proses
Kebijakan secara praktis
Di sepanjang masa dan di semua sistem kebijakan
pendidikan, ada ratusan hingga ribuan isu potensional yang dapat dikategorikan sebagai
masalah yang terkategori masalah kebijakan sehingga harus direspon oleh
keluarnya sebuah kebijakan. Dalam perkembangan kerangka waktu kedepannya,
selalu terjadi kondisi dimana hanya sedikit diantara masalah-masalah tersebut
yang terus berkembang menjadi isu public, dan lebih sedikit lagi dari isu
tersebut yang berhasil diantisipasi atau ditangani oleh para aktor aktor
official. Kondisi ini melahirkan pertanyaan mengenai bagaimanakah mekanisme
untuk membedakan mana isu yang tidak perlu direspon dan mana isu yang berpotensi
menjadi masalah untuk direspon oleh kebijakan.
Cobb dan Elder merekomendasikan empat pengelompokan isu
berdasarkan lahirnya isu-isu tersebut
1.
Isu yang lahir dari partai yang tidak puas
dengan pembagian sumber daya dan jatah kekuasaan
2.
Isu yang lahir dari orang atau grup yang
ingin mendapat keuntungan
3.
Isu yang lahir dari situasi yang tidak
terantisipasi
4.
Isu yang diangkat oleh orang atau kelompok
yang tidak memiliki motif sumber daya dan jabatan
Kesuksesan
implementasi suatu kebijakan sangat tergantung kepada empat faktor:
1.
Faktor pertama, adanya desain kebijakan. Kebijakan
yang ideal harus punya target-target yang jelas dan tidak mengandung ambigu. Sebuah
kebijakan akan rendah tingkat kesuksesannya jika mengandalkan konsepsi teoritis
yang lemah, atau jika tujuannya tidak jelas dan tidak realistis.
2.
Faktor kedua dalam strategi implementasi
adalah program-program sederhana dan membutuhkan sistem manajemen yang tidak
begitu rumit sehingga tingkat kesuksesan menjadi tinggi, sangat banyak
kebijakan yang kandas karena rumitnya tantangan kerjasama melibatkan
departemen-departemen yang berbeda dan dalam level-level yang berbeda pula.
3.
Faktor ketiga adalah komitmen dan kapasitas sistem
birokrasi, meliputi pemenuhan sumber daya dan sarana
4.
Faktor Keempat adalah faktor lingkungan,
yaitu seberapa tinggi dukungan pihak support dan pihak oposisi dalam pemerintah
dan seberapa tinggi kecenderungan untuk membangun koalisi.
Evaluasi
kebijakan di berbagai negara dapat dilakukan dalam bentuk yang berbeda-beda. Kadangkala
kebijakan atau program dievaluasi secara formal menggunakan pihak ketiga, tapi
sering juga proses evaluasi pada tingkat nasional hanya berupa feedback kepada
pejabat atau Kementerian. Kadangkala suatu kebijakan pendidikan dibuka dan
diakhiri secara mendadak, tetapi umumnya kebijakan pendidikan hanya sekedar
disesuaikan, dimodifikasi, dipertajam, atau ditukar dengan kebijakan lainnya.
B.
Isi Buku
Buku ini nampak tidak bertujuan untuk merangkum sebuah
analisis kompleks perbandingan dari esai esai di berbagai negara tetapi untuk
menemukan sisi kesamaan dan sisi kontras antar kebijakan pendidikan di tujuh
negara ini. Sangat penting untuk membahas kebijakan pendidikan melalui
pertanyaan-pertanyaan teoritis dan konseptual. Misalnya dengan cara
mendiskusikan mengenai perbedaan penggunaan dan pemaknaan istilah ‘kebijakan’,
dan perlunya menghubungkan proses kebijakan dengan konteks konteks pendidikan.
Konstitusi dan kerangka kerja di sebuah negara sangat mendominasi
pembahasa kebijakan pendidikan di tujuh negara yang dibahas. Penulis menemukan karakter
Perancis, Jepang, dan Swedia termasuk yang betul-betul memegang kontrol
terhadap sektor pendidikan. Sedangkan Australia, Amerika, dan Jerman Barat sebagai
negara federal memberlakukan undang-undang yang membagi peran dan menyebarkan
wewenang kepada komponen-komponen negara. Seringkali tujuan-tujuan praktis dari
sebuah kebijakan pendidikan ditentukan oleh lembaga negara pada level rendah sebagaimana
dilakukan oleh dinas-dinas pendidikan di Amerika yang mengelola distrik-distrik
sekolah yang melahirkan beragam cakupan kebijakan, dari cakupan sebuah sekolah
kecil hingga mencakup miliaran siswa.
Inggris adalah sebuah kasus khusus, pemerintahan pusat di
Inggris memiliki kekuasaan mutlak untuk membuat hukum dan penetapan
administrative. Tetapi dalam urusan kebijakan pendidikan, Inggris memilih
menyerahkan kekuasaan tersebut kepada 104 otoritas lokal.
Kebalikan dari kebijakan pendidikan di Amerika yang sangat
disebar, di Perancis justru sangat terpusat, contohnya adalah semua guru di
rekrut dan dipekerjakan langsung oleh kementerian pendidikan nasional. Saat ini
di Perancis baru mulai terjadi trend pendelegasian wewenang pembuatan kebijakan
kepada pihak lokal. di Jepang administrasi lokal dari sebuah sistem
persekolahan dibangun dengan kokoh pada tingkat pemerintah lokal, dalam
perkembangan Jelang masa kini terlihat adanya pengaruh dari perkembangan sains
dan kebudayaan di Tokyo, yaitu mendorong sektor pendidikan untuk mengejar trend
pendidikan internasional
Rentang
jenjang pendidikan prasekolah di berbagai negara sangat beragam, di Inggris diadakan
sampai umur 5 tahun, di Perancis sampai umur 6 tahun, di Jerman Barat hingga antara
6 sampai 7. Di semua negara tersebut ada kerangka yang jelas untuk layanan
pendidikan prasekolah dalam bentuk sistem semi edukasi, dapat disebut sebagai sistem
taman kanak-kanak atau sistem pengasuhan anak.
Pada jenjang Sekolah Dasar, kebanyakan diskusi terfokus kepada
gaya mengajar dan metode-metode progresif tren yang sama muncul di berbagai
negara, tren yang paling berkembang saat ini adalah pembelajaran yang berpusat
kepada anak.
Kecenderungan lainnya adalah adanya perhatian khusus terhadap
pelajaran matematika dan bahasa, keduanya dipandang sebagai fondasi yang sangat
penting untuk dibekalkan kepada peserta didik muda. Di Swedia, sudah menjadi hal
yang lumrah bagi pelajar untuk mempelajari bahasa asing terutama bahasa inggris
sejak usia Sekolah Dasar, kondisi ini tidak banyak terjadi di sekolah-sekolah
di Prancis, Australia, dan Amerika.
Kebijakan pendidikan pada level pendidikan lanjutan
didominasi oleh pertanyaan mengenai kebutuhan reorganisasi jalur pendidikan. Swedia
adalah negara yang betul-betul menerapkan prinsip kebijakan komprehensif yaitu
demokratisasi pendidikan.
Di tujuh
negara, terjadi situasi kebijakan yang sangat kompleks oleh dua hal yaitu:
1.
Adanya sekolah-sekolah swasta yang terpisah dari
sistem
2.
Adanya pertanyaan mengenai guru bidang
tunggal dan guru multi bidang, hal ini mempengaruhi beragam capaian siswa.
Kebijakan di setiap negara selalu memperhatikan elemen biaya,
kepentingan sekolah, dan seringkali kepentingan agama tertentu. Di Perancis dan
Inggris, sekolah-sekolah agama beroperasi terintegrasi dengan sistem nasional
dan mendapat bantuan pemerintah dalam porsi yang bervariasi.
Di semua negara, pendidikan lanjutan atau pendidikan
tinggi menawarkan layanan berorientasi vokasional baik untuk beroperasi full
time maupun part time Hal ini menandakan semakin eratnya integrasi antara
output pendidikan dengan kebutuhan ekonomi. Di setiap negara ada semacam
ketidakpastian mengenai apakah kebijakan harus terus menarget terciptanya SDM
untuk lapangan pekerjaan atau untuk memenuhi kebutuhan ilmiah yang lebih tinggi,
atau gabungan dari keduanya. Dengan terjadinya pengangguran massal di berbagai
negara pada tahun 1980-an yang diprediksi akan berlangsung hingga akhir abad
ke-20 maka banyak pelajar yang meninggalkan sekolah karena beranggapan mereka
tidak dapat bekerja mengandalkan hasil didikan di sekolah.
BAB III
PEMBAHASAN
1. Kebijakan Pendidikan Di Inggris
Bagi anak-anak yang berusia antara 5 dan 16 tahun,
pendidikan itu wajib di UK. Pendidikan yang dibiayai pemerintah bagi anak-anak
pada usia ini terstruktur dalam dua atau tiga jalur (tier).
Sistem dua jalur (two-tier-system) terdiri dari
sekolah dasar (Primary school) dan sekolah
menengah pilihan atau tanpa pilihan (selective/non selective
secondary school) . sekolah dasar adalah sekolah untuk anak-anak
yang berusia antara 5-11 tahun, kecuali di Scotland dimana transfer dilakukan
pada usia 12 bukan 11 tahun. Adakalanya terbagi lagi dalam kelompok 5-7 tahun (infant school) dan kelompok 7-11 tahun (junior school). Sekolah menengah adalah untuk anak-anak
yang berusia antara 11 dan 16 atau 18 tahun. Sistem tiga jalur (three-tier
system) terdiri sekolah pertama (first school) adalah bagi anak-anak yang
berusia 5-8 atau 9 tahun, sekolah menengah (middle school) bagi
anak berusia antara 8-12 atau 9-13 tahun, dan sekolah tingkat atas (upper school) biasanya non selektif, bagi anak-anak
berusia antara 12 atau 13-16 atau 18 tahun.
Sistem sekolah dengan dua jalur adalah yang banyak
dilaksanakan di UK . sistem tiga jalur dijumpai hanya di England yang menampung
kurang 15 % dari seluruh murid . sampai tahun 1965 kebanyakan anak-anak
di England dan Wales di tes pada usia 11 tahun untuk mengetahui kecocokanya
memasuki sekolah yang berorientasi akademik yaitu sekolah menengah yang dikenal
dengan “grammar school”. Kurang lebih 25 % anak-anak pada usia
ini memasuki “grammar school”. Anak-anak yang lain memasuki sekolah
yang dikenal dengan nama sekolah menengah modern(secondary-modern school)
yang kurikulumnya kurang berorientasi pada akademik. Tentu saja bagi mereka
yang menamatkan pendidikanya disekolah ini lebih kecil peluang untuk bisa
mengikuti ujian negara pada usia 16 tahun dan juga mereka kurang memperoleh
fasilitas apabila berkeinginan melanjutkan pendidikan setelah usia 16 tahun.
Semenjak tahun 1965, didorong terutama oleh pemerintah partai buruh, hampir
semua “I.e.a.s” lebih mengakui dan menyukai sistem sekolah menengah yang dapat
menampung berbagai kemampuan, dan ini dikenal dengan sebagai sekolah
komprehensif (Comprehensive school). Sebagaian besar anak-anak
berusia 11-16 tahun saat ini mendapat pendidikan di sekolah jenis ini.
Anak-anak yang melampui usia wajib belajar (16 tahun)
dapat juga meneruskan pendidikanya di sekolah sendiri dalam program yang
dinamakan “sixth from” dengan tambahan waktu dua tahun lagi atau
mereka juga boleh pindah ke lembaga lain seperti “Sixth-from collage”
yang menampung secara penuh anak-amak usia 16 -18 tahun, ke “Tertiary Collage”. “Collage of Further Education” atau ke “Technical
Collage” tiga yang terakhir ini pada dasarnya adalah sama , melayani
mahasiswa yang purna waktu ( Full Time) dan paruh
waktu (part-time).
Pendidikan bagi anak-anak yang telah tamat dari
pendidikan dasar menengah dapat dikelompokkan dalam dua kategori, pertama
“nonadvanced further education” (NAFE) untuk yang tidak akan meneruskan
kependidikan tinggi , tetapi dipersiapkan mengambil General Certificate of
Education (GCE) tingkat advanced (A) dan kategori. kedua, pendidikan tinggi
yang otonom yang diselenggrakan dengan dana pemerintah, dan perguruan tinggi
yang diselenggarakan oleh “I.e.a.s” yang sebagian dikenal dengan politeknik (Di
Scotland, ada 14 perguruan tinggi yang langsung dibiayai oleh Pemerintah
Pusat). Banyak “I.e.a.s yang menyelenggrakan kedua jenis pendidikan ini. Universitas
dan Politeknik adalah pusat pendidikan untuk memperoleh titel dan penelitian,
politeknik kuat dalam pendidikan “part time” dan melayani terutama mahasiswa
berusia 21 tahun ke atas. Titel pertama yang diberikan oleh sistem pendidikan
di UK menuntut tiga tahun kuliah bahkan sebagian program menuntut 4 tahun atau
lebih.
A. Pendidikan Nonformal
Berbagai program untuk orang dewasa dan Cuntinuing
Education disenggarakan oleh “I.e.a.s, jurusan-jurusan ekstra universitas, dan
badan-badan tertentu seperti Asosiasi Pendidikan para pegawai. Pada umumnya
kuliah-kuliah diselenggarakan “part-time” (siang atau malam), tetapi ada
sebagaian yang mengharuskan tinggal dikampus dalam waktu pendek, dan sebagian
kecil sekali ada yang harus tinggal di kampus dalam jangka waktu panjang pada
perguruan tinggi negeri. Mata kuliah yang ditawarkan bervariasi besar sekali,
mulai dari pendidikan paling dasar seperti tulis baca sampai pada mata kuliah
untuk mengambil ujian program akademik atau mata-mata kuliah vokasional. Biaya
pendidikan umumnya ditanggung oleh mahasiswa.
Universitas Terbuka (Open University, OU) tergolong pendidikan
non formal yang mampu menawarkan berbagai program akademik dengan berbagai
gelar. Perkuliahan sebagian besar dilakukan di rumah melalui korespondensi,
televisi dan radio. Tidak diperlukan kualifikasi akdemik formal untuk mendaftar
di Universitasb Terbuka ini, dan gelar di berikan atas dasar jumlah kredit yang
diperoleh dengan sukses pada setiap fase perkuliahan.
Pelayanan terhadap generasi muda diadakan dengan tujuan
untuk meningkatkan pendidikan sosial secara informal pada waktu-waktu senggang
sambil membina pengembangan bakat mereka. pelayanan ini diseenggarakan oelh
beberapa klanb bejerja sama dengan pejabat-pejabat setempat termasuk “I.e.a.s”
dan macam-macam organisasi sukarela, tetapi itu bukanlah gerakan sukarela kaum
muda secara nasional.[7]
B. Kurikulum dan Metodologi Pengajaran di Inggris
Tidak ada kurikulum yang ditentukan secara nasional akan
tetapi badan-badan yang mengurus ujian serta yang mengawasi General Sertificate
of Education menghendaki kesamaan kurikulum pada tingkat sekolah menengah
setiap daerah. Dalam prakteknya tanggung jawab atas kurikulum-kurikulum sekolah
negeri terletak pada guru-guru sendiri walaupun “I.e.a.s” juga bertanggung
jawab secara umum.
Inspektur Pendidikan (Her Majesty’s Inspectors of
School, HMIS) bertanggung jawab kepada pendidikan atas pengawasanya
terhadap sekolah negeri dan swasta, memeriksa dan melaporkanya, serta
memberikan saran dan memberikan saran dan nasihat kepada sekolah dan “I.e.a.s”
juga mempunyai Inspektur, penasihat dan perencana-perencana sendiri untuk
membantu sekolah yang berada dibawah wewenangnya dan “I.e.a.s” juga membentuk
pusat pertemuan guru-guru sebagai tempat bagi mereka untuk bekerja menyusun dan
mengembangkan kurikulum serta kegiatan inservice training.[8]
Dari segi kurikulum, sekolah-sekolah di Inggris menggunakan kurikulum nasional
(National Cuuiculum). Kurikulum nasional ditentukan oleh Dewan Pengembangan
Kurikulum Sekolah (School Curriculum Development Council –SCDC) khususnya untuk
sekolah pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Semula dewan pengembang
kurikulum masih menjadi satu dengan dewan ujian nasioal, yakni dalam satu wadah
yang bernama The School Council for Curriculum and Examinations, namun sejak
tahun 1982 lembaga tersebut dipecah menjadi dua.
Dewan pengembang Kurikulum sekolah tidak mudah dan seenaknya saja mengganti
kurikulum pendidikan. Pendidikan kurikulum akan selalu melibatkan banyak pakar
yang sungguh berkompeten dibidangnya. Mereka menjunjung tinggi warisan tradisi
keilmuwan mereka yang sangat kuat berakar. Materi pokok yang mereka anggap
bagus sejak 100 tahun lalu akan dipertahankan sampai kapanpun. Sementara
bidang-bidang baru yang akan diajukan untuk dimasukkan ke dalam kurikulum
nasional harus melewati prosedur yang panjang.
Prosedur tersebut dimulai dari usulan kepala sekolah disuatu wilayah yang
didukung oleh beberapa sekolah lainya., lalu bersama-sama mereka mengajukan ke
The Office for Standars in Education, Children’s Service and skill (OFSTEAD).
Kantor ini bersifat semi otonom, karena tidak dibawahi oleh pemerintah
melainkan berdiri mandiri dibawah penujukkan Queen Elizabeth. Selanjutnya
OFSTEAD akan mengajak School Curriculum Development Council (SDDC) untuk
mengembangkan kurikulum. Hasilkan kemudian diusulkan oleh OFSTEAD kepada
menteri pendidikan. Setelah menteri pendidikan menerima hal yang sama akan
terjadi kembali, Menteri akan menyampaikan rencana perubahan kurikulum nasional
ke jenjang struktural di bawahnya hingga sampai ke kepala sekolah. Prosedur
memakaan wakty sekitar satu tahun. Prosedur ini ternyata sangat birokratis
namun sekaligus memperhatikan tertib organisasi yang mereka jalankan. Dengan
demikian prosedur yang mereka jalankan meperlihatkan adanya pola bottom up
dalam pembaharuan kurikulum di Inggris. Pembaharuan kurikulum pendidikan itu
diusulkan dari kar rumput yaitu para ujung tomak penyelenggara pendidikan.
Kurikulum nasional yang disusun oleh OFSTEAD bersama dengan SCDC berisi 12
pelajaran. Pelajaran inti (the core subjects) adalah English,
mathematics, dan Science yang wajib dipelajari oleh siswa umur 5 sampai 15
tahun. Mata pelajaran lain yang wajib dipilih satu atau lebih untuk dipelajari
para siswa adalah : Art & design, Citizenship, design & Technology,
Geography, History, Information & communication Technology, modern Foreign
Languages, Music, dan terakhir dalah Physical Education. Seringkali sekolah
menambah pelajaran selain yang berada diatas. Adapun pelajaran yang diajarkan
di sekolah tetapi tidak diatur dalam undang-undang negara adalah pelajaran:
Religious Education, Career Education, dan sex Education.
Pada jenjang pendidikan tinggi terdapa program pasca sarjana yang dapat diikuti
oleh lulusan ujian A-Levels atau lulus dari Sixth From Collages. Seseorang yang
telah lulus tadi akan dengan mudah bisa masuk perguruan tinggi dan menjadi
mahasiwa selama tiga atau empat tahun. Mereka yang masuk PT telah berumur 18
tahun, sedangkan untuk calon mahasiswa internasional harus dapat fasih
berbahasa inggris dengan skor nilai minimal TOEFL 550 dan IELTS 6.0.
Tahun ajaran PT di Inggris dibagi dalam dua atau tiga term. Mahasiswa mengambil
jurusan yang sesuai dengan minat yang ingin dipelajari dan dikembangkanya.
Gelar sarjana akan diberikan jika mereka telah menyelesaikanya. Program pasca
sarjana dapat diikuti oleh mereka yang telah lulus sarjana. Umumnya berusia
diatas 21 tahun. Program pasca sarjana ditempuh dalam waktu 2 tahun . mahasiswa
harus menyelesaikan tugas mata kuliah, menulis tesis, dan mengikuti ujian
akhir. Mahasiswa pasca sarjana dapat meneruskan program doktor atau phD. Gelar
master atau MBA dianugerahkan setelah usai menempuh seluruh mata kuliah, tesis,
dan ujian akhir. Gelar pasca sarjana tradisional biasanya di bidang “Arts”
dengan sebutan (MA), sedangkan dibidang “Science” dengan sebutan (MSc).[9]
2. Kebijakan Pendidikan Di Jepang
Tujuan pendidikan Jepang lebih mengarah pada
pengembangan kepribadian individu secara utuh, menanamkan jiwa yang bebas dan
bertanggungjawab, bertoleransi untuk menghargai antar individu. Dapat ditarik
kesimpulan bahwa prinsip pendidikan yang ada di negara Jepang lebih
bersifat humanis bekaitan dengan kehidupan sehari-hari dan ilmunya benar-benar
real dapat diaplikasikan dan dibutuhkan di kehidupan nyata.
Negara Jepang merupakan negara yang sukses dalam
memajukan pendidikannya terlihat pada pengaturan sistem pendidikannya yang
tertata dengan baik dimana seluruh lembaganya berkerjasama dan melaksanakan
peranannya masing-masing secara optimal mulai dari lembaga administrasi,
lembaga pendidikan, lembaga pengawas kurikulum dll. Serta adanya dukungan yang
baik antara pemerintah, kepala sekolah, guru, murid dan orang tua yang
turut berperan terhadap majunya pendidikan di negara tersebut. Kerjasama yang
baik antar seluruh komponen negara inilah yang mampu membawa kesuksesan negara
Jepang hingga mampu mencapai seluruh tujuan-tujuan pendidikan yang
dicanangkannya kurang dari 25 tahun dan tercatat sebagai negara dengan kualitas
dan sistem pendidikan terbaik se-Asia, sungguh prestasi yang mengagumkan.
Pendidikan wajib yang diberikan secara gratis
di negara tersebut menandakan bahwa pemerintahan disana memang amat
memperdulikan Sumber Daya Manusia di negaranya dan menjadi bukti bahwa sistem
administrasi negara Jepang memang berjalan dengan baik dan bertanggungjawab
terhadap pemenuhan kebutuhan negaranya termasuk memfasilitasi sarana dan
prasarana yang bermutu dalam proses belajar menagajar.
Budaya disiplin waktu dan kerja keras negara Jepang
yang sejak dahulu diajarkan dari leluhur-leluhur mereka selalu mereka tanamkan
di dalam kehidupan sehari-hari turut berpengaruh pada kemajuan negara ini.
Kesuksesan dari negara maju inilah yang patut kita contoh
bagi negara kita dimana harus ada kerjasama yang baik antar berbagai sistem
yang ada di negara terutama sistem pendidikan yang kaitannya dengan peningkatan
kualitas manusia. Apabila sistem-sistem tersebut berjalan dengan baik maka
kemajuan suatu negara akan tercapai dan yang teramat penting perlu adanya
pembinaan moral yang baik dalam setiap individu-individu suatu negara karena
awal dari kesuksesan diawali dari karakteristik pribadi suatu bangsa.
3. Kebijakan Pendidikan Di Australia
Suatu kecenderungan pada semua sistem sekolah negeri di
Australia semenjak awal 1970-an adalah pendelegasian tanggung jawab kurikulum
kepada sekolah-sekolah. Pada beberapa Negara bagian, pedoman kurikulum dibuat
terpusat, tetapi sekolah-sekolah dapat mengadaptasikannya untuk memenuhi tuntutan
dan kebutuhan lokal.
Pada Negara bagian yang lain, pejabat-pejabat di pusat
menyusun tujuan umum dan sekolah menjabarkannya ke dalam bentuk kurikulum yang
rinci, tetapi tetap berada dalam kerangka tujuan umum yang telah ditetapkan.
Pengecualian yang agak besar terjadi pada kurikulum sekolah menengah untuk
kelas-kelas terakhir. Detail kurikulum disusun secara terpusat untuk
kepentingan ujian eksternal. Pada kedua territories, the
Australian Capital Teritori(ACT) dan Northern Teritory, sekolah
relative memiliki otonomi yang lebih luas dan dapat mengembangkan kurikulumnya
atas dasar tujuan umum yang telah ditentukan di tingkat sekolah[2].
Terdapat variasi dalam hal tanggung jawab pengembangan
kurikulum di setiap Negara bagian, maka terdapat pula perbedaan dalam
pengimplementasiannya. Dalam hal kurikulum disusun berdasarkan pedoman dan
materi pelajaran dari pusat, pejabat-pejabat senior dari pusat secara teratur
mengunjungi sekolah-sekolah antara lain untuk memonitor pelaksanaan kurikulum[3].
Di Australia terdapat tes bagi siswa yang berlaku secara
nasional, Australia menyelenggarakan NAPLAN (National Assessment Program-Literacy
and Numeracy). Setiap tahunnya, semua siswa yang berada pada tahun 3, 5, 7,
dan 9 melakukan tes pada hari yang sama. Materi tes tersebut meliputi membaca,
menulis, bahasa (mengeja, tata bahasa, dan pemberian tanda baca), dan
perhitungan.
Untuk
setiap sekolah juga melaksanakan ujian tapi ujian tersebut tidak mempengaruhi
naik atau tidaknya seorang pelajar kekelas/ketahap selanjutnya. Karena kenaikan
kelas otomatis menyesuaikan umur pelajar.
Pertama, dinamika perubahan
sosial masyarakat Amerika Serikat yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir
sangat mempengaruhi pendidikan, mulai dari tingkat prasekolah sampai ke
perguruan tinggi. Sebagai hasil emansipasi yang sejak lama diperjuangkan di
Amerika, hampir semua wanita sudah mendapat pendidikan yang sama dengan pria,
dan selanjutnya kebanyakan wanita sudah mendapat tempat yang sangat luas dalam
lapangan kerja, baik mereka yang belum berkeluarga maupun yang sudah.
Kedua, masyarakat Amerika
Serikat saat ini dihadapkan pula pada masalah tingkat perceraian keluarga yang
sangat tinggi, mungkin yang tertinggi di antara negara-negara di dunia.
Akibatnya adalah makin banyak anak-anak yang hidup atau tinggal dengan satu
orang tua (umumnya dengan ibu), yang mau tidak mau harus bekerja untuk hidup
mereka. Banyak di antara ibu-ibu yang berprofesi rendah atau kasar. Ada yang
berpenghasilan sedikit di atas garis batas kemiskinan, dan bahkan ada yang
harus mendapat bantuan dari pihak pemerintah.
Ketiga, sistem pendidkan Ameriak
Serikat memeliki berbagai badan-badan resmi yang berfungsi sebagai instrumen
monitoring dan evaluasi pendidikan. Badan-badan itu antar lain: The National
Assessment of Educational Progress (NAEP), The Office of Educational Research
and Improvement (OERI), The National Center of Educational Statistics (NCES),
The Office for Programs for Improvement of Practice (OPIP), dan The Office of
Library Programs (OLP). Berdasarkan hasil penelitian dan informasi yang
dikumpulkan diketahui bahwa kualitas pendidikan Amerika Serikat mengalami
kemunduran yang cukup serius, dan hal ini telah menjadi isu yang sangat hangat
yang dipublikasikan oleh berbagai media massa semenjak tahun 1980-an.[8]
4.
Kebijakan Pendidikan di Amerika Serikat
Ada ketentuan dan aturan pemerintah federal mengenai
kelompok-kelompok minoritas rasial dan orang-orang cacat. Pemerintah federal
juga mendukung penelitian pendidikan. Tetapi Amerika Serikat tidak mempunyai
sistem pendidikan yang terpusat atau yang bersifat nasional. Namun demikian,
ini tidak berarti bahwa pemerintah federal tidak memberikan arah dan
pengaruhnya terhadap masalah-masalah pendidikan. Sesungguhnya, ketiga badan
legislatif, judikatif, dan eksekutif federal sangat aktif dalam proses
pembuatan keputusan mengenai pendidikan, terutama setelah Perang Dunia II.
Pemerintah federal ikut mengupayakan menghilangkan sistem sekolah yang
memisah-misahkan sekolah berdasarkan ras, khususnya antara anak-anak dari ras
kulit hitam dan ras kulit putih; menyamakan alokasi pendanaan sekolah;
menyediakan akses pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin dan pendidikan
bagi anak-anak penyandang cacat, dan juga berupaya memenuhi tuntutan atas
pendidikan yang berkualitas serta tuntutan atas akuntabilitas sekolah.
Partisipasi ini tidak berarti bahwa ada sistem pendidikan federal. Itu hanya
berbagai cara bagaimana pemerintah federal bisa memberikan pengaruhnya dalam
menentukan kebijakan pendidikan.
Kebijakan utama mengenai pendidikan berada pada
pemerintah negara bagian dan daerah. Terdapat 50 negara bagian dan 15,358
distrik, dan sebanyak itu local school boards,
yang masing-masingnya mempunyai aturan dan sistem pendidikan. Sungguhpun
demikian, tujuan sistem pendidikan Amerika secara umum dirumuskan sebagai
berikut[7]:
- Untuk
mencapi kesatuan dalam kebinekaan
- Untuk
mengembangkan cita-cita dan praktek demokrasi
- Untuk
membantu pengembangan individu
- Untuk
memperbaiki kondisi sosial masyarakat
- Untuk
mempercepat kemajuan nasional.
Isu-isu Pendidikan
Pertama, dinamika
perubahan sosial masyarakat Amerika Serikat yang terjadi dalam beberapa dekade
terakhir sangat mempengaruhi pendidikan, mulai dari tingkat prasekolah sampai
ke perguruan tinggi. Sebagai hasil emansipasi yang sejak lama diperjuangkan di
Amerika, hampir semua wanita sudah mendapat pendidikan yang sama dengan pria,
dan selanjutnya kebanyakan wanita sudah mendapat tempat yang sangat luas dalam
lapangan kerja, baik mereka yang belum berkeluarga maupun yang sudah.
Kedua, masyarakat
Amerika Serikat saat ini dihadapkan pula pada masalah tingkat perceraian
keluarga yang sangat tinggi, mungkin yang tertinggi di antara negara-negara di
dunia. Akibatnya adalah makin banyak anak-anak yang hidup atau tinggal dengan
satu orang tua (umumnya dengan ibu), yang mau tidak mau harus bekerja untuk
hidup mereka. Banyak di antara ibu-ibu yang berprofesi rendah atau kasar. Ada
yang berpenghasilan sedikit di atas garis batas kemiskinan, dan bahkan ada yang
harus mendapat bantuan dari pihak pemerintah.
Ketiga, sistem
pendidkan Ameriak Serikat memeliki berbagai badan-badan resmi yang berfungsi
sebagai instrumen monitoring dan evaluasi pendidikan. Badan-badan itu antar
lain: The National Assessment of Educational Progress (NAEP), The Office of
Educational Research and Improvement (OERI), The National Center of Educational
Statistics (NCES), The Office for Programs for Improvement of Practice (OPIP),
dan The Office of Library Programs (OLP). Berdasarkan hasil penelitian dan
informasi yang dikumpulkan diketahui bahwa kualitas pendidikan Amerika Serikat
mengalami kemunduran yang cukup serius, dan hal ini telah menjadi isu yang
sangat hangat yang dipublikasikan oleh berbagai media massa semenjak tahun
1980-an.[8]
5. Kebijakan
Pendidikan di Jerman
Berdasarkan
sejarah pendidikan di Jerman berasal dari dua sumber yaitu gereja dan negara.
Sudah menjadi tradisi semenjak awal abad pertengahan bahwa gereja selalu
terlibat dalam pendidikan, sedangkan the lander (asal mula kekuasaan daerah)
selalu pula mengatakan bahwa merekalah yang bertanggungjawab atas pendidikan.
Pengumuman resmi wajib belajar pada beberapa daerah semenjak akhir abad ke-17
dapat diangggap sebagai penanda resmi bahwa pendidikan adalah tanggung jawab
negara. Semenjak itu, pengaruh gereja secara umum mulai berkurang. Maka masalah
pendidikan mulai saat itu terletak terutama pada kekuatan politik, para guru,
orang tua siswa/ mahasiswa sebagai kelompok yang langsung terlibat untuk
menentukan keadaan pendidikan serta perubahan-perubahan dalam sistem
pendidikan.
Pemerintah
negara bagian (state) yang sosial demokrat cenderung untuk menempatkan
pendidikan sebagai hak azazi dengan penekanan pada: usaha pendidikan itu atas
inisiatif sendiri, persamaan dan tindakan pengimbalan, sementara pihak kristen
demokrat konservatif menginginkan tujuan dan kegiatan pendidikan itu bersifat
kolektif untuk kepentingan masyarakat seperti penyiapan lulusan yang
berkualitas.
Maka dalam
konstitusi negara (baru) serta dalam pembukaan undang-undang tentang sekolah
khusus dan universitas ditetapkan tujuan umum pendidikan dengan tekanan pada
pengembangan indivisualitas dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat.
Politik
pendidikan dan formulasi tujuan merupakan topik yang hangat dalam kelompok
republik demokrasi. Tahun 1949 pejabat administrasi memoloskan undang-undang
mengenai pendirian : ”Sekolah Persatuan Demokrasi”. Dengan maksud untuk
menghalangi monopoli pendidikan kelas masyarakat golongan atas, dan juga
menjamin terbukanya kesempatan bagi masyarakat miskin. Lebih dari 2/3 guru-guru
yang bertugas di bawah partai sosialis nasionalis diganti dengan guru-guru yang
telah mendapatkan pendidikan jangka pendek. Kecocokan dengan peraturan komunis
maka berlangsunglah model soviet seperti prinsip ”pengajaran politeknik” dengan
tujuan membentuk pribadi sosial.
Tujuan
pendidikan di Jerman yang dinyatakan dalam undang-undang adalah :
1) Untuk
membentuk individu yang maju secara fisik, moral dan intelektual
2) Untuk
membentuk manusia yang kreatif secara sosial yang memiliki minat terhadap sajak
bagaimana terhadap matematika dan ekonomi.
6. Kebijakan Pendidikan di Swedia
Sistem pendidikan
di Swedia yang dapat diterapkan di Indonesia pada tingkat pendidikan menengah
adalah' yrkesutbildning' atau 'vocational education'.
Swedia emiliki 'yrkesutbildning' pada tingkat 'gymnasiet' atau
sekolah menengah, dan dilanjutkan ke tingkat 'yrkeshögskolan'.
Tujuan dari pendidikan ini adalah mempersiapkan tenaga kerja terampil siap
kerja untuk level operasional dan administrasi.
Indonesia pun
sebenarnya telah menerapkan sistem pendidikan yang sama, antara lain sekolah
menengah kejuruan (SMK) dan program pendidikan diploma satu, dua, dan tiga (D1,
D2, D3). Namun,pelajar Indonesia kurang menaruh minat karena minimnya gaji yang
didapat oleh lulusan program pendidikan ini jika dibandingkan dengan lulusan
sarjana. Pemerintah maupun lembaga penyelenggara pendidikan juga seringkali
menganaktirikan 'vocational education' dengan minimnya alokasi
dana untuk program pendidikan ini. Faktor lain yang menyebabkan 'vocational
education'kurang berkembang di Indonesia adalah kurangnya kesadaran
masyarakat bahwa semakin banyak lulusan yang berperan serta langsung di sektor
industri akan turut pula mempercepat laju pertumbuhan ekonomi.
Secara umum,
pada tingkat pendidikan tinggi, terdapat dua jalur pendidikan yang bisa
ditempuh di Swedia, yaitu Universitet dan Högskolan. Berbeda dengan Högskolan
yang lebih menjurus ke bidang tertentu(di Indonesia dikenal dengan Sekolah
Tinggi/Institut), seperti teknik (Tekniska Högskola)danekonomi
(Handelshögskola), Universitet memiliki cakupan yang lebih luas dan melingkupi
beberapa disiplin ilmu. Dalam perkembangannya, sebuah Högskolan bisa memperluas
kompetensi ilmiahnya dan bermetamorfosis menjadi Universitet.
Namun, tidak semua Tekniska Högskola memiliki
pola administrasi yang sama. Misalnya, LTH (Lund Tekniska Högskola) masih
berdiri di bawah Lund Universitet. Artinya, fakultas engineernya
dijalankan di bawah LTH yang memiliki administrasi sendiri, tetapi masih
berkoordinasi dengan Lund Universitet.
Setelah
seorang siswa menamatkan pendidikan di Gymnasiet (setingkat Sekolah Menengah
Umum (SMU)), dengan mengikutiBologna process yaitu SMU+3 (180
ETCS), maka siswa tersebut akan diberikan kesempatan untuk meneruskan
pendidikan tiga tahun di bangku universitas dan kemudian bisa langsung masuk ke
dunia kerja (setingkat bachelor degree/S1). Opsi kedua adalah lulus
dari pendidikan tingkatan bachelor dan menambah dua tahun masa
studi untuk mendapatkan gelar master (S2).Untuk jurusan teknik, misalnya,
setelah menyelesaikan lima tahun kuliah, mahasiswa akan mendapatkan gelar “Civilingenjör”. Gelar
tersebut masih diberikan meskipun Swedia sudah mengadopsi sistem Bologna. Hal
ini sepertinya hanya diaplikasikan secara internal di Swedia untuk masa
transisi dan tidak berpengaruh terhadap mahasiswa asing.
Sementara
itu,pendidikan S3 dijalankan dengan dua jalur penerimaan.Vacancy PhD
adalah jalur untuk merekrut mahasiswa berdasarkan kebutuhan universitas akan
penelitian yang sedang dijalankan dan industrial PhD adalah
jalur untuk mahasiswa yang memenuhi kebutuhan pendanaan secara mandiri. Dengan
sistem employment, seorang PhD student tidak perlu
membayar biaya studi/penelitian apa pun selama menjalani pendidikan. Mereka
justru akan mendapatkan standar gaji yang ditetapkan bersama dengan Labor
Union. Standar gaji tersebut akan cenderung meningkat seiring dengan
terselesaikannya masa pendidikan doktoral yang diambil. Sebagai contoh, seorang
mahasiswa PhD tingkat awal yang mendapatkan 18.000 SEK akan mendapatkan
kenaikan gaji sebesar 24.000 SEK setelah level licentiate dan
akan menjadi 30.000 SEK setelah lulus S3 dan melanjutkan jenjang post
doctoral. (1 SEK=0.1 EUR)\Di Swedia juga terdapat licenciate degree yang
dapat ditempuh seorang mahasiswa Master dengan menambah dua tahun masa studi.
Bagi sektor industri Swedia, gelar setengah PhD ini cukup efektif untuk
mempercepat laju kemajuan karier.
Uniknya,
kurikulum yang diadopsi oleh beberapa universitas di Swedia tidak bersifat
baku. Mahasiswa dapat memilih dengan bebas mata kuliah yang diinginkan asalkan
memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan universitas. Secara umum, mata
kuliah yang ditawarkan terdiri atas empat level, yakni level A, B,
C, dan D. Level A dan B tergolong dalam basic level, sedangkan
C dan D tergolong advanced level yang dikhususkan bagi
mahasiswa yang ingin mendalami mata kuliah tertentu.
Masa studi
hampir semua program master internasional berdurasi dua tahun. Namun, beberapa
universitas, seperti Lund University dan Dalarna University, memiliki
pilihan program master satu tahun (60 credits) atau dua tahun (120
credits) untuk gelar yang sama, terutama untuk bidang non science
engineering.
Beberapa
universitas di Indonesia juga melakukan kerja sama U2U (university to
university) dengan universitas-universitas di Swedia. Misalnya, master
program - exchange di Karlstad University bisa ditempuh dalam waktu satu
tahun.Demikian juga program kerja sama antara UGM dan Chalmers untuk beberapa
program di bidang Teknik Kimia.
7. Kebijakan Pendidikan di Prancis
Prancis
adalah tergolong Negara yang telah maju industrinya dari antara Negara maju di
barat lainnya. Problema-problema yang di rasa belum dapat di selesaikan secara
tuntas ialah yang menyangkut masalah kependidikan dari abad kea bad.
Prancis
modern adalah prancis yang dimulai dari pendirian Repoblik Ketiga. Repoblik
ketiga didirikan oleh elmen-elemen repoblik populasi setelah pasukan prusia
dibawah pimpinan Bismarck menghancurkan Kekaisaran kedua pada 1870. Sebelumnya
sudah ada dua system pemerintahan dalam bentuk repoblik. Ketiga system
pemerintahan repoblik mendapat rentangan dari kaum monarki yang tetap setia
pada teori bahwa kekuasaan adalh takdir dari Tuhanm. Kaum monarki menghimpun
kekuatan dari pendukung keturunan bangsawan dan kalangan hararki Gereja
Katholik Roma. Kedua kelompok ini telah memperlihatkan tendensi reaksioner kuat
yang sesekali berhasil membatasi suara rakyat, keduanya tampil untuk mencoba
mengembalikan pemerintahan monarki absolute. Maka, tak heran jika keduanya
sama-sama tidak mendukung pendidikan umum yang bebas.
Dibawah
pemerintahan Repoblik ketiga, lycee dan fakultas unuversitas negeri
di ambil alih untuk membentuk inti system sekolah menengah yang bertujuan
menemukan dan menghasilkan calon-calon pemimpin. Kendati teori warisan status
kelas telah di tolak, system pendidikan masih sangat selektif. System tersebut
sudah memisahkan anak-anak menjadi dua kelas sejak hari pertama mereka masuk
sekolah. Akhirnya, hak pilih dijadikan universal bahkan wanita berhak memilih
setelah perang dunia II, tetapi biaya pendidikan di sekolah menengah tetap
melanggengkan diskriminasi kelas.
BAB IV
KESIMPULAN
Sistem pendidikan di tujuh negara ini dapat beradaptasi
dengan baik dengan peningkatan tantangan sosial. Tingkat usia sekolah di
kebanyakan negara meningkat hingga sekitar 16 tahun, di Jerman Barat dan di
California ditemukan fakta bahwa 100% warga berusia 17 hingga 18 tahun
melanjutkan pendidikannya. Pada waktu yang sama, ekonomi dan peningkatan
standar hidup yang terjadi di Jepang Jerman Barat dan Prancis menimbulkan
depresi yang memicu turunnya anggaran pendidikan dan memperburuk situasi.
Buku ini dipandang masih ringkas dan masih tidak mungkin
untuk menyajikan banyak aspek kompleks dalam kebijakan pendidikan yang dialami
oleh setiap negara. Beberapa bidang tidak disebutkan sama sekali, misalnya mengenai
kesetaraan gender, kebijakan terkait pelajar berkebutuhan khusus, dan
sebagainya. Tidak mungkin pula buku ini mengangkat etos pendidikan lokal
seperti Australia dengan sistem isolasi geografis, ketertutupan sistem
pendidikan Jepang, dan berkembangnya tema kesetaraan dan demokrasi di Swedia
dan Amerika.
Masih perlu penjabaran lebih lanjut mengenai bagaimana
kebijakan di setiap negara harus menyelesaikan berbagai masalah kompleks,
bagaimana menetapkan prioritas dan menyikapi target-target yang saling tumpang
tindih. Buku ini diharapkan dapat menyumbang petunjuk untuk menjawab
keingintahuan mengenai kebijakan pendidikan pada periode tersebut dan menjadi
semacam pedoman untuk diperhatikan dalam merespon isu isu di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Hough J. R.,
1984. Educational Policy (an international survey) . Croom Helm.
Australia |
Nur, Agustiar
Syah, 2002, Prof.Dr.Drs.H.MA, Perbandingan Sistem Pendidikan 15 Negara,
Cetakan I, Bandung, Lubuk Agung,
M. Arifin, Ilmu Perbandingan Pendidikan, (Jakarta: Golden Terayon
Press, 2003),
http://www.psb-psma.org/content/blog/sistem-pendidikan-di-perancis
Sarumpeat, J. P., Perbandingan Pendidikan, (Jakarta:
Djambatan, 1974), h. 8
NN. 2010. Sistem
Pendidikan Jepang. Melalui :http://yardapoteker.wordpress.com/2010/03/15/sistem-pendidikan-jepang/ [2010/03/15]