BAB I
PENDAHULUAN
Saat pertamakali muncul, definisi filsafat adalah
cara atau seni untuk menuju baik. Filsafat pada periode pertama belum memiliki
nama apa pun, termasuk nama filsafat. Kemudian dalam perkembangannya ketika minat
manusia pada bahasa meningkat, filsafat kemudian mengalami fenomena kebahasaan dan
terkontroversikan ke dalam berbagai istilah. Pada akhirnya secara alami sejarah
menentukan takdirnya dengan memilih istilah filsafat sebagai cara untuk menuju
baik. Beberapa literatur menyebut penamaan tersebut mengacu kepada paparan
Plato dalam karyanya Paidros. Meski terdapat pula yang mengatakan
istilah filsafat lahir pertama kali dari Pythagoras (532 SM).
Jika kita melacak sejak kapan munculnya
aliran-aliran filsafat, kapan pemetaan pemikiran filsafat sehingga melahirkan
aliran-aliran dan mazhab-mazhab filsafat yang berbeda, maka besar kemungkinan kejadian
tersebut pertama dimulai di era Pythagoras. Hal ini terkait dengan sejarah
Pythagoras yang terusir dari negerinya karena pemikiran-pemikiran filsafatnya, hingga
ia tinggal di daerah sekitar Croton. Kelak di daerah ini terbentuklah
perkumpulan-perkumpulan eksklusif penganut pemikiran Pythagoras.
Belakangan, filsafat kehidupan makin hari makin
tanpa arah yang pasti, terpaku pada batasan bahwa hidup tidak mungkin
dipastikan, berkutat pada pandangan Heraklitus bahwa perubahan adalah kepastian.
Sementara, bersamaan dengan itu problem-problem moral tak terpecahkan dan etika
manusia banyak menjadi blunder dan paradox. Di satu sisi, menjamurnya
institusi-institusi pendidikan membentuk kesan bahwa dunia tengah menuju hidup
yang jauh lebih baik. Akan tetapi, di balik semua itu, kemerosotan-kemerosotan
hidup kian mewabah. Dalam periode yang terus memburuk, pendidikan sebenarnya bisa
menjadi tumpuan dan harapan, hanya saja perbaikan tersebut sulit terjadi karena
kenyataan pendidikan saat itu sangat buruk dan mengalami kemerosotan yang sama
dengan bidang-bidang kehidupan lainnya. Pendidikan menjadi alat industri yang dihidupi
hukum-hukum ekonomis. Oleh karena itu,
kerap dikatakan betapa di kampus-kampus dan sekolah-sekolah seseorang tidak
akan bertemu dengan guru, hanya bertemu dengan pekerja yang dilatarbelakangi
motif ekonomi semata. Guru hanya menjadi komponen kecil dari industri wacana
bernama pendidikan. Oleh karena itu, pertemuan dengan para mahasiswa dan siswa
tidak lagi memiliki sisi keterkaitan apa pun selain hanya pertemuan dengan
klien yang mesti diberi layanan jasa.
Di satu sisi, pendidikan mengklaim diri sebagai
agen kemanusiaan. Namun, di sisi lain, pendidikan adalah agen dehumanisasi.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ribuan institusi pendidikan di masa tersebut
tidak memberikan perubahan signifikan apa pun pada tata kehidupan. Disini kita
perlu mengkaji ulang apa dan bagaimana pendidikan, terutama hal-hal yang
mendasari lahirnya berbagai problem filosofi pendidikan. Semisal, ketika
pendidikan telah menjadi industri penghasil tenaga kerja, pendidikan tidak
lebih hanya perusahaan yang melayani kebutuhan pasar. Sedangkan pasar tidak
pernah memiliki visi lain selain visi ekonomi, peningkatan laba, pencitraan,
serta kesenangan.
Filsafat adalah hal paling mendasar dalam hidup
sehingga filsafat selalu menjadi landasan di berbagai bidang kehidupan,
termasuk dalam dunia pendidikan. Pendidikan pada dasarnya lahir dari
spekulasi-spekulasi etis filsafat atas hidup dan kehidupan manusia. Akan
tetapi, spekulasi-spekulasi filsafat tidak selalu bisa diterima sebab tidak
sedikit pula spekulasi filsafat yang sama sekali tidak relevan diterapkan.
Dalam sejarah pendidikan di indonesia dapat kita temukan betapa pendidikan di
Indonesia sering berlangsung nyaris tanpa dilandasi filsafat pendidikan yang jelas.
Pendidikan di Indonesia termasuk lambat berkembang.
Munculnya berbagai LSM pendidikan telah mengundang penerapan
teori-teori pendidikan progresif, misalnya kita akan menemukan bantuan di
berbagai wilayah bencana berupa ruang-ruang pembelajaran non-permanen yang
kerap disebut Children Center. Ruang pengajaran tempat anak sepenuhnya
dilibatkan secara aktif dan guru semata-mata hanya menjadi fasilitator. Adapun di
ruang pendidikan formal, pola pengajaran yang berlaku di Indonesia masih
bersifat tradisional. Kampus mungkin mulai terlihat moderen, bahkan memiliki
fasilitas-fasilitas pendidikan mahal yang canggih. Akan tetapi, pola pendidikan
yang ditetapkan masih sangat tradisional. Ini terindikasi dalam berbagai
otoritas mutlak saat proses pengajaran berlangsung di kelas.
Anehnya dalam penerapan pola pengajaran Indonesia yang
begitu tradisional, pola penyelenggaraan administratif telah dilakukan dengan
cara-cara sebagaimana pendidikan yang ada di negara-negara industrialis maju. Bayang-bayang
alam bawah sadar normatif pendidik Indonesia selalu ingin tetap berdiri pada
posisi guru dalam pola pendidikan tradisional, akan tetapi motifnya dalam
melakukan pengajaran justru lebih bersifat industri, yaitu banyak dikendalikan
oleh motif-motif ekonomi.
Kerancuan, ketumpangtindihan, serta ketidakjelasan
pola pendidikan agaknya telah menjadi penyebab utama institusi pendidikan melahirkan
situasi-situasi kontraproduktif. Hal fenomenal juga melanda dunia pendidikan
berlatar belakang agama, termasuk salah satunya pesantren. Betapa kuatnya
tekanan negara sehingga pesantren bergerak menyamakan dirinya dengan pendidikan
non-agama, yaitu pergeseran yang mengarah kepada kepentingan untuk bisa
memperoleh formalisme yang sama dengan yang diperoleh pendidikan umum
non-pesantren. Tentu saja semua formalisme itu mudah ditebak muaranya, yaitu
terarah untuk melayani formalisasi yang ada dalam ruang industrialisasi.
Kenyataan-kenyataan itu tentu saja sangat buruk,
dan hingga sejauh ini kita belum berhasil mengurai kekacauan ini. Hal ini karena
kajian filsafat pendidikan di Indonesia masih menjadi kajian yang sangat lemah.
Padahal, filsafat pendidikan yang baik akan membantu melihat lebih jauh
kenyataan sebenarnya yang terjadi di lapangan. Dengan demikian, kita merumuskan
format-format pola pendidikan yang mesti dilakukan berikut berbagai pembahasan
tentang kelemahan-kelemahan dari penerapan teori itu.
Diskursus filsafat pendidikan penting dilakukan
guna mengevaluasi problem-problem filosofis yang ada dalam pendidikan. Artinya,
meski semua pendidikan selalu dapat dipastikan berjalan dengan
landasan-landasan filosofis, tapi tidak selalu landasan-landasan itu valid dan
tepat dengan situasi pendidikan dan tujuan yang hendak dicapai.
Dari itulah, kita perlu mengkaji lebih jauh jenis
dan ragam pandangan konsep pendidikan di berbagai aliran filsafat pendidikan.
Karena dengan mendalami filsafat pendidikan itulah, pendidikan akan mampu
benar-benar terevaluasi, baik dalam ranah konseptual teoritis ataupun ranah
praktis pragmatis.
Filsafat dan pendidikan mempunyai hubungan yang
sangat erat. Sebab, pendidikan pada hakikatnya merupakan proses pewarisan
nilai-nilai filsafat yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
kehidupan yang lebih baik atau sempurna dari keadaan sebelumnya. Dalam
pendidikan diperlukan filsafat pendidikan.
Filsafat pendidikan adalah ilmu yang mempelajari
dan berusaha menyelesaikan masalah-masalah pendidikan yang bersifat filosofis.
Jadi, ketika ditemui masalah atas pertanyaan-pertanyaan soal pendidikan yang
bersifat filosofis, wewenang filsafat pendidikanlah untuk menjawab dan
menyelesaikannya.
Secara filosofis, pendidikan adalah hasil peradaban
suatu bangsa yang terus-menerus dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan
filsafat serta pandangan hidupnya sehingga menjadi suatu kenyataan yang
melembaga di dalam masyarakatnya. Dengan demikian, muncullah filsafat
pendidikan yang menjadi dasar suatu bangsa berpikir, berperasaan, dan
berkelakuan, yang menentukan bentuk sikap hidupnya. Sedangkan, proses
pendidikan dilakukan secara terus-menerus dilakukan dari generasi ke generasi
secara sadar dan penuh keinsafan.
Ajaran filsafat merupakan hasil pemikiran seseorang
atau beberapa ahli filsafat tentang sesuatu secara fundamental. Pemecahan
masalah-masalah itu kerap melahirkan perbedaan terkait perbedaan filsafat yang
digunakan sehingga melahirkan kesimpulan-kesimpulan berbeda meskipun masalah
yang dihadapi sama. Perbedaan tersebut pula disebabkan oleh factor-faktor lain,
seperti latar belakang pribadi para ahli tersebut, pengaruh zaman, kondisi, dan
alam pikiran manusia di suatu tempar. Dari pemikiran filsafat yang berbeda-beda
inilah, kemudian lahir sistematika yang didasarkan kategori tertentu dan
menghasilkan suatu klasifikasi. Dari itulah, kita kemudian menemukan sesuatu
yang disebut “aliran (system)” suatu filsafat.
Pengklasifikasian itu pun kerap berbeda-beda dan
tidak sama, terkait dengan kriteria-kriteria yang digunakan. Seorang pemikir
mungkin membedakan aliran-aliran filsafat pendidikan ke dalam beberapa jenis klasifikasi
dengan menyisihkan beberapa jenis aliran.
Sebaliknya pemikir lain justru memasukkan aliran-aliran yang disisihkan itu ke
dalam klasifikasinya dan mengeluarkan aliran yang lain.
Brubracher membagi aliran dalam filsafat pendidikan
ke dalam beberapa bagian. Mulai dari pragmatis-naturalis, rekonstruksionisme,
romantic naturalis, eksistensialisme, idealism, realism, rasional humanism,
skolastik realism, fasisme, komunisme, dan demokrasi. Sebagian kalangan menganggap
pengklasifikasian yang dilakukan Brubracher termasuk sangat teliti karena konon
dilakukan untuk menghindari overlappin dari masing-masing aliran. Namun dalam
amatan yang lain, betapa pengklasifikasian yang dilakukan oleh Brubracher masih
mengandung kerancuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Filsafat Pendidikan Realisme
1. Pengertian Realisme
Berdasarkan bentuk kata (etimologi), Realisme berasal dari Bahasa Latin
”realis” yang berarti ”sungguh-sungguh atau nyata dan benar”. Realisme adalah
filsafat yang menganggap bahwa ada dunia eksternal nyata diluar kita yang dapat
kita kenali melalui indera.
Realisme berpandangan bahwa objek yang terdeteksi oleh persepsi inderawi adalah
objek yang sungguh-sungguh ada, tidak dipengaruhi oleh indera dan akal. Objek menangkapnya
karena objek itu memang dapat diselidiki, dianalisis, dipelajari lewat ilmu,
dan ditemukan hakikatnya lewat ilmu filsafat .
Para penganut realisme menyatakan bahwa manusia bisa salah lihat pada
benda-benda real karena manusia cenderung terpengaruh oleh keadaan di
sekelilingnya, sedangkan realitas objek nyata tersebut pada hakikatnya tidak
terpengaruh oleh persepsi kita. Sebagai ilustrasi, Gunung yang kita lihat menjulang
tinggi adalah gunung yang real. Ia bukanlah konsep atau ide dalam pikiran
sehingga ia akan tetap ada meski tidak ada satu pun manusia yang memikirkannya.
Realisme kerap dipandang sebagai kebalikan dari idealism, hadir sebagai reaksi
perlawanan terhadap filsafat idealism yang cenderung abstrak dan metafisik. Filsafat
idealism sangat berpegang pada kondisi-kondisi mental akal pikiran sedangkan instrument
utama realisme adalah indera yang terlepas dari pengetahuan yang telah
dikonstruksi oleh akal pikiran.
2. Sejarah Realisme
Gagasan filsafat realisme terlacak sudah
ada sebelum abad masehi dimulai, yaitu dalam pikiran murid Plato bernama
Aristoteles (384-322 SM). Ibarat Plato memulai filsafatnya dari di sebelah
selatan, Aristoteles justru memulai dari sebelah utara. Filsafat Aristoteles
tampak seperti antithesis filsafat Plato yang justru memiliki corak idealism. Jika
Plato meyakini bahwa realita adalah hasil dari alam idea, Aristoteles justru
memandang bahwa realita berada di luar alam ide, benda-benda yang kita inderai tidak
lahir dari pikiran atau mental kita. Bagi Aristoteles, eksistensi benda-benda
nyata di sekitar kita tidak ditentukan oleh akal kita, benda-benda tetaplah ada
walaupun tidak ada yang memikirkannya. Kelak, ini menjadi fondasi awal bagi
lahirnya fisika dan sains modern.
Selanjutnya, realisme dipengaruhi
dua filsuf terkemuka, Francis Bacon (1561-1626) dengan pemikirannya tentang
metodologi induktif serta John Locke tentang konsep akal-pikir jiwa manusia
yang disebutnya sebagai “tabula rasa”. Pada abad ke-20, pada 1960-an kita akan
menemukan Harry S. Boudy sebagai seorang pemikir realisme modern dengan
karyanya yang berjudul, Building a Philosophy of Education (1961).
3. Pandangan Realisme
Realitas merupakan sisi lain idealism. Jika filsafat idealism selalu
merujuk bahwa “yang ada” adalah “yang bisa dipikirkan”, sebaliknya para realis
termasuk Bacon memandang bahwa ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu titik tempat
bertolak dan mengambil kesimpulan. Menurutnya, realita dunia hanya dapat
difahami melalui pengamatan, mengumpulkan fakta, lalu membuat argumentasi
induktif yang logis
Realisme meyakini bahwa “yang ada” adalah yang bisa teramati oleh indera. Bagi
seorang realis, sebanyak apapun akal memiliki ide tentang sesuatu hal akan
tetapi jika hal tersebut tidak bisa teramati oleh indera maka hal tersebut tidak
real, “common sense” menjadi epistemologi filsafat realism.
Serapan inderawi menjadi sarana utama untuk mengetahui realita. Realisme menjadikan
indera atau pengamatan sebagai instrument atau epistemologi dalam memperoleh
pengetahuan serta kebenaran. W.E. Hocking menyatakan bahwa realisme adalah
kecenderungan untuk menjaga diri tidak mencampuri putusan tentang segala
sesuatu dan membiarkan objek-objek berbicara untuk diri objek itu sendiri.
4. Realisme dan Pendidikan
Pendidikan dalam realisme memiliki keterkaitan erat dengan pandangan John
Locke bahwa akan-pikir jiwa manusia tidak lain adalah “tabula rasa”, ruang
kosong serupa kertas putih yang perlu menerima perlakuan dari lingkungan. Oleh
karena itu, pendidikan dipandang dibutuhkan untuk membentuk setiap individu
agar mereka menjadi apa yang dipandang baik. Dengan demikian, pendidikan dalam realisme
kerap didentikkan sebagai psikologi behaviorism dalam ruang pengajaran.
Murid dipandang sama sekali tidak mengetahui apapun kecuali apa-apa yang
telah pendidikan berikan. Di sini dalam pengajaran realisme, siswa menjadi
subjek didik yang tak berbeda dengan robot. Ia mesti tunduk dan patuh
sepatuh-patunya untuk diprogram oleh materi-materi yang telah ditetapkan
sedemikian rupa.
Di akhir prose pendidikan, realisme berharap manusia sukses dibentuk untuk
hidup dalam nilai-nilai yang telah menjadi common sense sehingga manusia
mampu beradaptasi dengan lingkungan yang ada. Sisi buruk pendidikan model ini
adalah banyak dikendalikan skeptisisme positivistic, yaitu mereka dalam hal apa
pun cenderung meminta bukti dalam bentuk-bentuk yang bisa didemonstrasikan
secara inderawi.
Realisme juga berjasa bagi perkembangan dunia pendidikan yaitu pengembangan
media pembelajaran.Temuan Crezh, seorang pendidik di Mosenius pada abad ke-17
dengan karya Orbic Pictur-nya, sempat mengejutkan dunia pendidikan dan
dipandang sebagai gagasan baru. Ini karena pada saat itu belum ada satu pun
memiliki pemikiran untuk memasukkan alat bantu visual seperti gambar-gambar
perlu digunakan dalam pengajaran anak, terutama dalam mempelajari bahasa. Di
abad selanjutnya, yaitu ke-18 menjelang abad 19, gagasan Moravi menginspirasi
Pestalozzi untuk menghadirkan objek-objek peraga fisik dalam ruang pengajaran
di dalam kelas.
Corak lain kecenderungan pendidikan realisme adalah adalah kuatnya tekanan-tekanan
yang mengarahkan kepada keteraturan yang bersifat mekanistik, apa yang
diterapkan realisme ke dalam ruang belajar dipandang melahirkan berbagai hal
yang kemudian menuai banyak kecaman sebab dinilai telah menjadi penyebab
dehumanisasi.
Berdasarkan aliran realisme, maka tujuan pendidikan akan dirumusakan
sebagai upaya pengembangan potensi-potensi yang ada dan dimiliki oleh peserta
didik untuk menjadi seoptimal mungkin. Menurut Realisme, yang dimaksud dengan
hakikat kenyataan suatu benda itu berada pada ”hal” atau ”benda” itu sendiri.
Jadi, bukan bagaimana benda itu dinilai dari luar. Oleh karena itu, wajar bila
yang menjadi perhatian pertama dalam pendidikan adalah apa yang ada pada
peserta didik .
Berikut ini adalah beberapa pandangan Filsafat realisme terhadap
pendidikan:
a.
Tujuan Pendidikan. Tujuan-tujuan
pendidikan dalam aliran realisme adalah supaya peserta didik mampu menyesuaikan
diri dengan lingkungan dan dapat melaksanakan tang jawab sosial. Kurikulum
berisi unsur-unsur pendidikan untuk mengembangkan kemampuan berfikir dan
pendidikan praktis untuk kepentingan bekerja. Kurikulum berisi semua
pengetahuan yang berguna dalam menyesuaikan diri dan membentuk tanggung jawab
sosial.
b.
Inisiatif dalam pendidikan harus
ditekankan pada pendidik bukan pada anak. Peranan pendidik adalah menguasai
pengetahuan, keterampilan teknik-teknik pendidikan dengan kemampuan untuk
mencapai target pendidikan yang dibebankan kepadanya.
c.
Inti dari proses pendidikan adalah
asimilasi dari materi yang telah ditentukan. Kurikulum diorganisasikan dan
direncanakan dengan pasti oleh guru.
d.
Semua kegiatan belajar dilakukan
melalui pengalaman, baik langsung maupun tidak langsung. Metode mengajar
hendaknya bersifat logis, bertahap atau berurutan. Pembiasaan menjadi metode
pokok yang dipergunakan baik oleh kalangan penganut realisme maupun
behaviorisme.
e.
Sangat penting untuk menegakkan
aturan dan tata cara yang baik dalam belajar. Peserta didik perlu mempunyai
disiplin mental dan moral.
B.
Filsafat Pendidikan Pragmatisme
1. Pengertian Pragmatisme
Secara etimologis, kata 'pragmatisme' berasal
dari kata bahasa Yunani pragmatikos yang berarti cakap dan berpengalaman dalam
urusan hukum, dagang, dan perkara negara (Mangunhardjana, 1997; 189). Istilah
“pragmatisme” disampaikan pertama kali oleh Charles Peirce pada bulan Januari
1878 dalam artikelnya yang berjudul How to Make Our Ideas Clear. (Armin, 2003;
20)
Filsafat Pragmatisme mengajarkan bahwa yang benar
adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan
melihat kepada akibat-akibat atau manfaat praktisnya (Hadiwijono, 1980;
130-131). Bagi pragmatis yang penting bukanlah kebenaran objektif dari suatu
pengetahuan melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan tersebut.
Dapat ditarik pola umum dalam pragmatisme bahwa sebuah ide menjadi benar ketika
memiliki fungsi pelayanan dan kegunaan.
Bayangkan sebuah mobil dengan segala kerumitan
mesin yang membuatnya bekerja, namun yang sesungguhnya menjadi dasar adalah
jika mobil itu dapat bekerja atau berfungsi dengan baik. Filsafat pragmatisme
tidak mau direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran, terlebih
yang bersifat metafisik, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan filsafat
Barat di dalam sejarah. Dalam pragmatisme, 'apa yang benar adalah apa yang
berfungsi’.
2.
Sejarah Pragmatisme
Pragmatisme adalah aliran filsafat modern yang lahir di Amerika akhir abad
19 hingga awal abad 20, walau pada awal
perkembangannya sempat juga berkembang ke Inggris, Perancis, dan Jerman. Filsafat
ini cenderung lebih banyak mengabaikan hal-hal yang bersifat metafisik tradisional
dan lebih banyak pada hal-hal yang pragmatis.
Pragmatisme lahir ketika Amerika dilanda problem masifnya urbanisasi dan
industrialisasi. Berakhirnya Perang Dunia I dengan korban sekitar 8,4 juta jiwa
secara tidak langsung telah melahirkan dampak psikologis yang begitu maluas dan
memicu terjadi berbagai perubahan-perubahan bangsa, khususnya para filsuf di
dalam menyadari hidup dan kahidupan yang ada.
William James (1842-1910)
adalah orang yang memperkenalkan gagasan-gagasan dari aliran ini ke seluruh
dunia. William James dikenal juga secara luas dalam bidang psikologi. Aliran
ini melahirkan beberapa nama yang cukup berpengaruh mulai Charles S. Pierce
(1839-1914) dan seseorang pemikir yang juga cukup menonjol bernama George
Herbert Mead (1863-1931). Delaney
(1999; 229) menyebutkan bahwa filsuf awal lain yang terkemuka dari pragmatisme
adalah John Dewey yang juga dikenal sebagai kritikus sosial dan pemikir dalam
bidang pendidikan.
Apa yang disebut dengan neo-pragmatisme juga
berkembang di Amerika Serikat dengan tokoh utamanya adalah Richard Rorty.
Magnis (2000; 242) menyebutkan bahwa salah satu pemikiran Richard Rorty yang
terkenal adalah bagaimana bahasa menentukan pengetahuan karena bahasa lahir
berbeda-beda. Demikianlah pengetahuan pun tidak hanya satu dan tidak dapat
dipandang universal, budaya atau nilai-nilai yang ada di sekitar kita cukup
dilihat secara fungsinya saja terhadap manusia.
3.
Pandangan Pragmatisme
Filsafat pragmatisme secara umum dipandang berupaya menengahi pertikaian
antara idealism dan empirisme serta berupaya melakukan sitesis antara keduanya.
Pragmatisme mendasarkan dirinya kepada filsafat yang memakai sebab-sebab
praktis dan kepercayaan untuk menetapkan nilai dan kebenaran. Dalam penjabaran
William, kita bisa mengetahui betapa filsafat pragmatisme selalu menjadi
pemikiran filsafat yang didasarkan pada metode ketimbang pada doktrint. Oleh
karena itu, pragmatisme kerap pula dianggap sebagai upaya-upaya penyelidikan
eksperimental berdasarkan metode sains modern. Pengalaman menjadi sesuatu yang
begitu fundamental dan begitu menentukan.
Dalam perkembangannya, pragmatisme ini akan memengaruhi teori-teori
pendidikan yang lahir setelahnya, mulai dari progresivisme, rekonstruksionisme,
futurism, serta humanism pendidikan. Pemikiran ini menunjuk bahwa epistemologi pragmatisme
sepenuhnya berbasis pendekatan empiris: apa yang bisa dirasakan itulah yang
benar. Sebab, hanya dengan mengalamilah pengetahuan ini dapat dicerap.
Pengalaman menjadi parameter ketika sesuatu dapat diterima kebenaran. Menurut
mereka, pengalaman yang mereka alami akan berubah jika realitas yang mereka
alami pun berubah.
Realitas dalam pragmatis bukanlah sesuatu yang abstrak tetapi hanya pengalaman
transaksional yang secara konstan akan terus-menerus berubah. Di titik inilah
seorang William James kemudian berujar betapa manusia selalu hidup dalam dunia
dengan tutup yang terbuka. Pandangan James ini sama dengan Dewey tentang konsep
kebenaran. Bagi Dewey, kebenaran tidak lebih hanya opini yang ditakdirkan
sebagai sesuatu yang dipandang benar sehingga semua orang pun kemudian berupaya
menyelidikinya untuk kemudian meyakini atau menolak otoritasnya.
Corak paling kuat dari pragmatisme adalah kuatnya
pemikiran tentang konsep kegunaan. Makna kegunaan dalam pragmatisme lebih
ditetapkan pada kegunaan ilmiah, bukan pada hal-hal bersifat metafisik. Maka
pengetahuan tidak identik dengan kepercayaan. Kebenaran adalah yang dianggap
perlu dipercayai (to believe) dan menjadi hal personal atau pribadi, dan itu
tidak perlu dikabarkan kepada public. Sedangkan hal-hal yang dianggap perlu
diketahui (to know) haruslah selalu dikabarkan atau didemonstrasikan pada
pengamat yang qualified dan netral. Kepercayaan memang ada dalam pengetahuan
meski banyak pula kepercayaan tidak akan ditemukan siap pun di banyak
pengetahuan.
Pandangan-pandangan itu semuanya terangkai oleh konsep kegunaan
dan fungsi pragmatis. Oleh karena itu, para pragmatis kerap mengungkapkan seringkali
yang harus kita ketahui bukan sesuatu yang mesti kita percayai, dan apa yang
kita percayai tidak selalu menjadi sesuatu hal yang mesti kita ketahui. Konsep
kegunaan dan fungsi kebenaran dalam pragmatisme selalu hadir menjadi relatif dan
kasuistik. Sebuah kebenaran yang dipandang benar-benar valid dan berguna, di
waktu yang lain bisa menjadi sesuatu hal yang sama sekali mesti dilupakan.
4. Pendidikan dalam kerangka
Pragmatisme
Penekanan utama pragmatisme dalam pendidikan selalu dilandaskan bahwa peserta
didik bukanlah objek, melaikan subjek yang memiliki pengalaman. Subjek didik
adalah individu yang mampu mengalami sehingga mereka berkembang dan
berinisiatif dalam mengatasi problem-problem hidup. Terkait lingkungan
pendidikan, pragmatisme menilai bahwa situasi di sekolah dan situasi di luar
sekolah adalah sama-sama bagian dari pengalaman hidup, kehidupan di sekolah bukan
bagian dari persiapan untuk menjalani hidup.
Pragmatisme memandang bahwa pelajar harus menghadapi problem yang memicu lahirnya
tindakan dari pemikiran yang sangat reflektif, sehingga kecerdasan peserta
didik akan melahirkan pertumbuhan yang membuat mereka mampu beradaptasi dengan
dunia yang selalu berubah.
Pendidikan pragmatisme kerap dianggap sebagai pendidikan yang mencanangkan
nilai-nilai demokrasi di dalam kelas. Dasar pemikirannya adalah bahwa setiap
orang dalam suatu masyarakat memiliki kesempatan untuk terlibat dalam setiap
pengambilan keputusan pendidikan yang ada. Karena pendidikan bukan ruang yang terpisah dari sosial, maka
berlaku pula kaidah-kaidah mengenai pentingnya aspirasi.
Guru dalam pragmatisme sangat berbeda dengan guru dalam pendidikan
tradisional otoritatif yang menekankan pentingnya kepatuhan siswa. Dalam
pendidikan pragmatism, guru mendapingi subjek didik sebagai pengarah atau
pemandu aktivitas dengan cara menawarkan pertimbangan-pertimbangan yang
bersumber dari pengalaman guru yang lebih luas dari pengalaman peserta didik.
Pengajaran pragmatisme sangat berbeda dengan pengajaran tradisional yang
formal dan kaku. Pendidikan pragmatisme justru sering dilakukan di luar ruangan,
di alam terbuka, dan di berbagai tempat yang disukai peserta didik. Metode pengajaran
dalam pragmatisme selalu menekankan bahwa pengalaman adalah hal yang utama.
Oleh karena itu, upaya pengajaran dilakukan selalu menjadi sesuatu yang dekat
dengan hidup. Seseorang yang hendak belajar tentang pertanian akan dibawa
langsung di area tempat kegiatan-kegiatan pertanian dilakukan. Guru menjadi
pendamping atau pemandu yang sesekali menjelaskan dan memberi nasihat bagi para
subjek didik. Metode ini popular dengan nama metode eksperimental.
Kebijakan-kebijakan sekolah selalu menjadi kebijakan liberalisme, dalam
artian mereka tidak pernah khawatir dengan perubahan-perubahan sosial. Bagi
mereka, perubahan adalah kenyataan hidup yang tidak mungkin dibendung. Maka
pendidikan harus mengajarkan bagaimana mengelola perubahan dengan cara yang
sehat. Sekolah tidak perlu membebani subjek didik dengan beban-beban yang tidak
produktif seperti menghafal dan kewajiban-kewajiban yang membatasu keaktifan peserta
didik sebagai subjek pembelajar. Pendidikan justru harus mengajarkan cara
belajar sehingga peserta didik mampu menyesuaikan dengan
perubahan-perubahan hidup yang
terus-menerus menimpa dunia mereka. Di sini kurikulum pendidikan pragmatis
lebih banyak didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan proses ketimbang muatan
materi.
C.
Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
1. Pengertian Eksistensialisme
Secara
singkat Kierkegaard memberikan pengertian eksistensialisme, yaitu suatu
penolakan terhadap segala suatu yang abstrak, tidak logis, atau tidak ilmiah.
Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutlakan rasional. Dengan demikian
aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman, dan situasi
sejarah yang ia alami, dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak
dan spekulatif. Baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi,
keyakinan yang tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk
mencapai keyakinan hidupnya. (Zuhairini, 2012:31)
2. Sejarah Eksistensialisme
Eksistensialisme termasuk filsafat pendatang baru. Eksistensialisme pertama
kali dikemukakan oleh ahli filsafat
Jerman, Martin Heidegger (1889-1976). Eksistensialisme merupakan bagian
filsafat dan akar metodologinya berasal dari metode fenomologi yang dikembangkan
oleh Hussel (1859-1938).
Soren Kierkegaard (1813-1855) secara umum dianggap sebagai filsuf
eksistensialis pertama meskipun ia tidak menggunakan istilah eksistensialisme.
Kieggard menjawab pertanyaan “Bagaimanakah aku menjadi seorang diri?” Ia menyatakan
bahwa setiap individu bertanggung jawab untuk memaknai kehidupan dan menjalani
hidup dengan penuh semangat dan "otentik". Eksistensialisme menjadi
populer di tahun-tahun setelah Perang Dunia II , dan sangat mempengaruhi banyak
disiplin selain filsafat , termasuk teologi, drama, seni, sastra, dan
psikologi. Tokoh lainnya adalah Nietzsche (1811-1900), yang mengatakan bahwa
Tuhan telah mati, dan Jean Paul Sartre, yang mengatakan “Man is nothing else
but what he makes of himself”.
3. Pandangan Eksistensialisme
Inti ajaran filsafat ini adalah respek terhadap individu yang unik pada
setiap orang. Eksistensi mendahului esensi. Manusia lahir dan eksis lalu
menentukan dengan bebas esensinya masing-masing. (Alwashilah, 2014). Karakteristik utama eksistensilisme
oleh Peter A. Angeles yang tercantum dalam buku Filsafat Pendidikan Islam
karangan Abd. Rahman Assegaf, diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, antara
lain:
a.
Eksistensi mendahului esensi;
b.
Kebenaran itu subjektif;
c.
Alam tidak menyediakan aturan moral.
Prinsip-prinsip moral dikonstruksi oleh manusia dalam konteks bertanggungjawab
atas perbuatan mereka dan perbuatan selainnya;
d.
Perbuatan individu tidak dapat
diprediksi;
e.
Individu mempunyai kebebasan
berkehendak secara sempurna;
f.
Individu tidak dapat membantu
melainkan sekedar membuat pilihan, dan
g.
Individu dapat secara sempurna
menjadi selain daripada keberadaannya.
Lebih lanjut, Harold H. Titus mencoba mencari sifat umum eksistensialisme,
yang antara lain tampak pada klasifikasi berikut:
a.
Eksistensialisme menekankan
kesadaran ada (being), dan eksistensi. Nilai kehidupan tampak melaui pengakuan
terhadap individual, yakni “I (aku)” dan bukan It.
b.
Eksistensialisme percaya bahwa tak
ada pengetahuan yang terpisah dari subjek yang mengetahui. Kita mengalami
kebenaran dalam diri kita sendiri. Kebenaran tidak dapat dicapai secara
abstrak. Oleh sebab itu, kaum eksistensialis menggunakan bentuk-bentuk sastra
dan seni untuk mengekspresikan perasaan dan hati.
c.
Eksistensialisme menekankan
individual, kebebasan, dan pertanggungjawabannya.
d.
Eksistensialis menekankan keputusan
dan tindakan, pemikiran dan analisis saja tidaklah cukup. (Assegaf, 2014:131)
Implikasi eksistensialisme dalam kehidupan manusia pada intinya terletak
pada sikap subjektivitas dan individualitas manusia. Dengan demikian, orang
cenderung bebas berbuat menurut jati dirinya dengan slogan “be your self”. Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa aliran eksistensialisme memandang
manusia sebagai individu yang bebas. Bebas melakukan dan mendefinisikan dirinya
sendiri secara individual. Manusia tidak lain adalah bagaimana dia menjadi
dirinya sendiri dan menyadari adanya orang lain, sehingga dapat menciptakan
dunianya sendiri yang berarti bagi dirinya dan bagi kehidupan orang lain atau
lingkungannya. Hal inilah yang disebut dengan respek terhadap orang lain
seperti penjelasan di atas.
Menurut aliran eksistensialisme ini, realitas adalah kenyataan hidup itu
sendiri. Untuk menggambarkan realitas, manusia harus menggambarkan apa yang ada
dalam diri manusia, bukan yang ada di luar kondisi manusia.
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat
fenomenologi, suatu pandangan yang menggambarkan penampakan benda-benda dan
peristiwa-peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut menampakan dirinya
terhadap kesadaran manusia. Pengetahuna manusia tergantung kepada pemahamannya
tentang realitas, tergantung pada interpretasi manusia terhadap realitas,
pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh
pekerjaan atau karir anak, melainkan untuk dapat dijadikan alat perkembangan
dan alat pemenuhan diri. Pelajaran di sekolah akan dijadikan alat untuk
merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disiplin yang kaku dimana anak harus
patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut. Biarkanlah pribadi anak
berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.
Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam
tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri,
melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki
kebebasan untuk memilih, namun menentukan pilihan-pilihan di antara
pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar. Berbuat akan
menghasilkan akibat, dimana seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut
sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap akibat akan
melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya. Tindakan moral mungkin dilakukan
untuk moral itu sendiri, dan mungkin juga untuk suatu tujuan. Seseorang harus
berkemampuan untuk menciptakan tujuannya sendiri. Apabila seseorang mengambil
tujuan kelompok atau masyarakat, maka ia harus menjadikan tujuan-tujuan
tersebut sebagai miliknya, sebagai tujuan sendiri, yang harus ia capai dalam
setiap situasi. Jadi, tujuan diperoleh dalam situasi.
4. Pendidikan dalam kacamata
Eksistensialisme
Dalam hal pendidikan, eksistensialisme bisa merepotkan penyelenggara
pendidikan, mengingat pendidik tidak bisa menyusun kurikulum dan mengingat
perlakuan yang seragam hubungan guru-murid bersifat informal dan proses
belajar-mengajar cenderung laissez faire. Maka, bila dicermati, keempat
pandangan tentang manusia di atas memberi penekanan pada dimensi dan aspek
tertentu dalam diri manusia.
Eksistensialisme sebagai filsafat, sangat menekankan individualitas dan
pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik,
dan secara unik pula ia bertanggungjawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya
dengan pendidikan, Sikun Pribadi mengemukakan bahwa eksistensialisme
berhubungan sangat erat sekali dengan pendidikan, karena keduanya saling
bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu
manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan
(kemerdekaan). Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah keberadaan; manusia,
sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia. ( Sadulloh, 2014: 135-137).
Menurut A. Chaedar alwashilah, di dalam kelas, guru berperan sebagai
fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan memberikan
berbagai bentuk jalan untuk dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari nalar,
maka kaum eksistensilis menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk manusia
secara utuh, bukan hanya sebagai pembengunan nalar. Sejalan dengan tujuan itu
kuriklum menjadi fleksibel dengan menyajikan sejumlah pilihan untuk dipilih
siswa. Dapat ditebak bahwa pelajaran-pelajaran humaniora akan mendapat
penekanan relatif besar. Kelas mesti kaya dengan materi ajar yang memungkinkan
siswa melakukan ekspresi diri, atara lain dalam bentuk karya sastra film, dan
drama. Semua itu merupakan alat untuk memungkinkan siswa “berfilsafat” tentang
makna dari pengalaman hidup, cinta, dan kematian. Pendidikan vokasional lebih
sebagai cara mengajar siswa mengenal dirinya bukan untuk mendapatkan
penghidupan. Dalam bidang seni, aliran ini mendorong kreatifitas dan imaginasi
siswa bukan sekedar meniru dan membeo apa yang sudah ada. Siswa dilihat sebagai
individu, dan belajar seyogianya disesuaikan dengan kecepatan siswa dan siswa
mengarahkan belajar untuk kepentingan dirinya sendiri. (A. Chaedar :2014).
Uyoh Sadulloh dalam bukunya Filsafat Pendidikan, menjelaskan tentang
implikasi filsafat eksistensialisme dalam pendidikan sebagai berikut:
a.
Tujuan Pendidikan adalah untuk
mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk
pemenuhan diri. Setiap individu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik
berkaitan dnegan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak
ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secar umum.
b.
Kurikulum berdasarkan pada apakah
hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu
tingkatan kepekaan personal disebut Greene “kebangkitan yang luas”. Kurikulum
ideal adalah kurikulum yang memberikan
para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk
mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka
sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
c.
Menurut pandangan eksistensialisme,
tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting daripada yang
lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu akan dapat menemukan
dirinya dan kesadaran akan dunianya.
d.
Kurikulum eksistensialisme
memberikan perhatian yang besar terhadap humaniora dan seni. Karena kedua
materi tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan instrospeksi dan
mengenalkan gambaran dirinya.
e.
Pelajar harus didorong untuk
melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang
dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan. Eksistensialisme
menolak apa yang disebut penonton teori. Oleh karena itu, sekolah harus mencoba
membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.
Menurut Kneller (1971), konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat
diaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan
percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi merupakan
subjek bagi yang lainnya. Menurut Buber kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan.
Anak dipaksa menyerah kepada kehendak guru, atau pada pengetahuan yang tidak
fpeksibel, dimna guru menjadi penguasanya.
Selanjutnya buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh disamakan
dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur maka ia hanya
akan merupakan perantara yang sederhana antara materi pelajaran dan siswa.
Seandainya ia hanya dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan
siswa akan menjadi hasil dari transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia,
sehingga manusia akan menjadi alat dan produk dri pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan
ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu
dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian
dari pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan
siswa sebagai pertemuan antara pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang
ditawarkan guru tidak merupakan suatu yang diberikan kepada siswa yang tidak
dikuasainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya
sendiri.
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan
alam semesta berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri di dalamnya.
Kendatipun demikian dengan kebebasan yang kita miliki, masing-masing dari kita
harus commit sendiri pada penentuan makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Maxine Greene (Parkay, 1998), seorang filosof pendidikan
terkenal yang karyanya didasarkan pada eksistensialisme “kita harus mengetahui
kehidupan kita, menjelaskan situasi-situasi kita jika kita memahami dunia dari
sudut pendirian bersama”. Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin
paling bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan
proses edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada
siswa memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu
mereka menemukan makna dari kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan
keyakinan banyak orang, tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja
yang mereka suka.
Guru hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam
suatu dialog. Guru menyatakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan
mengajukan ide-ide lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih
alternative-alternatif, sehingga siswa akan melihat bahwa kebenaran tidak
terjadi pada manusia melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu, siswa
harus menjadi factor dalam suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa harus
belajar keras seperti gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga
siswa mampu berpikir relatif dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti,
guru tidak mengarahkan dan tidak member instruksi. Guru hadir dalam kelas
dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata
pelajaran. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistemsialisme.
Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah
merupakan suatu forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya,
dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya. ( Sadulloh, 2014: 135-137).
Menurut Power (1982), yang dikutip oleh Uyoh Sadulloh, beberapa implikasi filsafat
pendidikan eksistensialisme adalah sebagai berikut:
a.
Tujuan pendidikan. Memberi bekal
pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan.
b.
Status siswa. Makhluk rasional
dengan pilihan bebas dan tanggungjawab atas pilihannya. Suatu komitmen terhadap
pemenuhan tujuan pribadi.
c.
Kurikulum. Yang diuatamakan adalah
kurikulum liberal. Kurikulum liberal merupakan landasan bagi kebebasan manusia.
Kebebasan memiliki aturan-aturan. Oleh karena itu, di sekolah diajarkan
pendidikan sosial, untuk mengajar “respek” (rasa hormat) terhadap kebebasan
untuk semua. Respek terhadap kebebasan bagi yang lain adalah esensial.
Kebebasan dapat menimbulkan konflik.
d.
Peranan guru. Melindungi dan
memelihara kebebasan akademik, di mana mungkin guru pada hari ini, besok lusa
mungkin menjadi murid.
e.
Metode. Tidak ada pemikiran yang
mendalam tentang metode, tetapi metode apapun yang dipakai harus merujuk pada
tata cara untuk mencapai kebehagiaan dan karakter yang baik. ( Sadulloh, 2014: 135-137).
D. Pancasila sebagai filsafat pendidikan Indonesia
1.
Pengertian
Pancasila merupakan dasar negara bangsa Indonesia yang memiliki fungsi
dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia tidak saja sebagai dasar negara RI,
tetapi juga alat untuk mempersatukan bangsa, kepribadian bangsa, pandangan
hidupa bangsa, sumber dari segala sumber hukum positif dan sumber ilmu
pengetahuan di Indonesia (Aziz, 1984:70)
Filsafat adalah proses berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh untuk
mencari kebenaran sesuatu. Sementara filsafat pendidikan adalah pemikiran yang
mendalam tentang kependidikan berdasarkan filsafat. Filsafat pendidikan juga
dapat dimaknai sebaga kaidah filosofis dalam bidang pendidikan yang
menggambarkan aspek-aspek pelaksanaan filsafat umum dan menitikberatkan pada
pelaksanaan prinsip-prinsip dan keercayaan yang menjadi dasar dari filsafat
umum dalam upaya memecahkan persoalan-persoalan pendidikan secara praktis
(Jalaludin, 2007:19).
Pancasila sebagai filsafat pendidikan Indonesia merupakan suatu dasar yang
digunakan oleh bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan bangsa Indonesia dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjadi acuan atau pedoman pelaksanaan
pendidikan diindonesia yang sesuai pada nilai-nilai luhur dan dapat dijadikan
dasar untuk mengkritisi permasalahan yang terjadi di praktik pendidikan di
Indonesia.
Bagi bangsa Indonesia, keyakinan atau pandangan hidup bangsa dan dasar
negara Indonesia adalah Pancasila. Karenanya sistem pendidikan nasional harus
dijiwai, didasari, dan mencerminkan identitas Pancasila itu sendiri. Sistem
pendidikan nasional dan sistem filsafat pendidikan Pancasila adalah subsistem dari sistem negara
Pancasila.
Pancasila adalah dasar Negara Indonesia yang merupakan fungsi utama dan
dari segi materinya digali dari pandangan hidup dan kepribadian bangsa (Dardodiharjo,
1988.17).Pancasila merupakan dasar Negara yang menjadi cirri khas dan dasar
Negara bangsa Indonesia dan dapat membedakan suatu pandangan dari Negara lain.
Hal ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk membangun pemikiran mengenai
praktik pendidikan yang ada diindonesia dan telah disesuaikan dengan nilai yang
harus dibangun kepada setiap rakyat yang bertempat tinggal di Indonesia. Di
dalam pancasila terdapat isi yang harus dimaknai oleh peserta didik agar
sejalan dengan pendidikan yang diharapkan dan berbasis pancasil, untuk
menerapkan nilai-nilai pancasila yang ada di dalamnya diperlukan pemikiran yang
sungguh- sungguh mengenai bagaimana
nilai-nilai pancasila itu dapat dilaksanakan, dalam hal hal ini pendidikan
tentunya yang berperan utama.
Pancasila sebagai pandangan bangsa Indonesia yang menjiwai dalm system
pendidikan nasional Indonesia dengan perkataan lain bila dihubungkan pancasila
dengan kenyataan yang ada dalam system pendidikan nasional tidak dapat
dipisahkan, karena pendidikan nasional itu, dasarnya adalah pancasila. Hal di
atas merupakan alasan mengapa pancasila dijadikan sebagai filsafat pendidikan
Indonesia karena sebenarnya bagi Indonesia warga Negara yang pintar tidak cukup
untuk menjadikan manusia seutuhnya namun Indonesia ingin mewujudkan bangsa
Indonesia yang pintar dean bermoral dengan didasarkan pada aspek nilai-nilai
pancasila,
2. Pendidikan dalam kacamata filsafat
pancasila
Suatu pendidikan tidak dapat berdiri sendiri, tapi dipengaruhi oleh
politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Pendidikan berperan penting dalam
menjamin perkembangan dan kelangsungan hidup bangsa. Maka dari itu, pendidikan
diusahakan dan diselenggarakan oleh pemerintah sebagai sistem pengajaran
nasional.
Sejak pendidikan itu ada di Indonesia, praktiknya sudah memperhatikan pada
nilai-nilai yang ada di dalam pancasila yang isinya mencakup: 1) ketuhanan Yang
Maha Esa, 2) kemanusiaan yang adil dan beradab, 3) persatuan Indonesia, 4)
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan perwakilan,
dan 5) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Isi dari kandungan tersebut akan berdampak pada beberapa kinerja dari
proses pendidikan seperti metode pembelajaran yang akan dilaksanakan,
pendekatan dalam proses pendidikan dan materi yang akan disampaikan oleh siswa,
hal itu tidak akan terlepas dari nilai-nilai pancasila yang harus termuat dan
diselipkan dari setiap pendidikan yang diberikan agar sesuai dengan tujuan
bangsa Indonesia yang tidak hanya mencerdaskan bangsanya namun juga mencerdaskan
moral agar berbudi yang sesuai dengan pancasila. Penyesuaian antara pendidikan
apa yang akan diberikan dengan kandungan dari pancasila itu sendiri membuat
adanya kesesuaian dengan tujuan dari bangsa Indonesia.
Tujuan khusus dari pendidikan Indonesia yaitu mengembangkan setiap potensi
yang dimiliki oleh setiap peserta didik dari aspek secara keseluruhan baik
kognitif, afektif dan psikomotorik, sedangkan kita tahu bahwa setiap manusia
itu unik dan memiliki potensi yang berbeda-beda dan untuk membentuk potensi
yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia maka harus benar-benar dilandaskan
pada pancasila yang telah memberikan sarana sebagai acuan dari segala kehidupan
bangsa Indonesia khususnya dalam bidang pendidikan.
Maka dari itu, sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi, pelajaran
Pancasila masih diberikan, agar nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila
benar-benar diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, untuk
tercapainya tujuan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila, Hal
itu membuktikan bahwa pancasila sangat berdampak besar bagi terbentuknya
generasi-generasi unggul Indonesia yang luas akan pengetahuannya dan memiliki
moral yang baik sehingga akan mewujudkan masyarakat yang berkualitas dan mampu
untuk memfiltrasi pengaruh negatiif dari perkembangan zaman yang saat ini telah
dibawa oleh budaya barat, tetapi dengan adanya pendidikan yang berlandaskan
pancasila maka generasi Indonesia akan mampu untuk membentuk benteng dalam
dirinya untuk tetap bernilai pancasila dan tidak akan terpengaruh begitu saja
dari pengaruh negatif dari luar yang membuat sesuatu yang dapat menghilangkan
cerminan dari bangsa indonesia itu pudar.
Dari setiap butir pancasila dapat ditemukan bahwa setiap butirnya memiliki
tujuan yang sesuai sebagai dasar pelaksanaan pendidikan yang berkarakter dan
berkualitas secara kognitif maupun moralnya, uraian nya sebagi berikut :
a.
Sila pertama, Ketuhanan yang Maha
Esa. Pendidikan memilih pancasila sebagai dasar pendidikan karena pendidikan
harus mampu menngutamakan hal-hal yang dapat memperkuat nilai-nilai keimanan
bagi peserta didik agar selalu taqwa dan beriman sesuai dengan kepercayaannya
masing-masing, selain itu agar peserta didik mampu memaknai suatu pendidikan
dengan didasarkan pada kewajiban mereka sebagai makhluk tuhan untuk selalu
menuntut ilmu dan dengan adanya pendidikan yang didasarkan pada sila ini maka
output yang akan dihasilkan yaitu terciptanya insan atau peserta didik yang
berakhlak mulia.
b.
Sila kedua: Kemanusiaan yang adil
dan beradab. Pendidikan menjadikan pancasila sebagai dasar pendidikan karena
pendidikan harus mampu membentuk setiap peserta didik yang mampu untu
memberikan perlakuan sebagaimana layaknya manusia dan nantinya seseorang yang
telah mendapatkan pendidikan itu dapat menghargai hak manusia yang sesuai
dengan makna dari sila ini, ketika seseorang dapat memahami hak dan kewajiban
diri sendiri dan orang lain maka orang tersebut mampu memberikan perlakuan yang
sesuai sehingga menjadikan setiap manusia menjadi beradab dan dapat memperlakukan
setiap manusia sama tanpa pandang bulu.
c.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Pendidikan
menjadikan pancasila sebagai dasar pendidikan
karena pendidikan harus mampu untuk menjadikan peserta didiknya dapat
bersatu dengan peserta didik lainnya, hal Ini menunjukkan bahwa ketika
terjadinya proses pendidikan maka ada saat mereka harus belajar dari lingkungan
sosialnya, dari lingkungan sosial yang ada maka ia akan belajar sendiri
menengenai pengetahuan maupun nilai-nilai yang ada dalam suatu masyarakat dan hal ini memungkinkan setiap orang untuk
bersatu dan meminimalisir adanya diskrimantif antar perbedaan yang menjadi
corak dari bangsa Indonesia, sehingga terbuktilah dengan adanya semboyan
Bhineka Tunggal Ika yang dapat dimaknai bahwa bangsa Indonesia memiliki
keberagaman sehingga di dalam proses pendidikan harus ada proses saling bertukar
pengetahuan dan sebagainya yang menungkinkan setiap orang dapat menjalin
kebersatuan untuk memenuhi suatu kebutuhan pendidikan.
d.
Sila keempat: Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Pendidikan
menjadikan pancasila sebagai dasar pendidikan karena mengharuskan suatu
pendidikan dapat menjadikan setiap orang menjadi lebih demokratis,aktif, dan
kritis di dalam memberikan solusi pada setiap masalah yang sedang terjadi di
Indonesia, tetapi dalam pandangan yang lain dapat dikatakan bahwa di dalam
proses pendidikan mengharapkan memunculkan output cendekiawan yang mampu
mengkritisi segala permasalahan yang dapat mengancam keutuhan NKRI hal ini
dapat dilakukan dengan usaha dari dalam maupun dari luar, maka biasannya pendidikan
di 3 pusat lingkungan tersebuut telah memberikan bergai usaha agar seseorang
dapat lebih kritis lagi seperti dimasyarakat bahwa terdapat organisasi yang
memungkinkan partisipasi oleh setiap orang untuk mengatasi hal-hal yang
bersangkutan dengan program atau kinerja dari setiap organisasi tersebut,
adanya penyuluhan mengenai pemilu dan sebagainya.
e.
Sila kelima: Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan menjadikan pancasila sebagai dasar
pendidikan karena mengungkapkan secara abstrak bahwa suatu pendidikan harus
mampu menciptakan bibit yang mampu memberikan keadilan sosial bagi lingkungan
yang ditempati nya dalam arti bahwa ketika seseorang sedang berbaur dengan
temannya maka orang itu tidak boleh membedakan yang satu dengan yang
lainnya.sehingga biasanya hal yang dapat dilakukan yaitu dengan menanamkan
sejak kecil bahwa seseorang tidak bisa hidup sendiri tanpa adanya bantuan dari
orang lain, sehingga jika memilih teman harus adil dan tidak boleh memnadang
pangkat maupun derajatnya.
3. Implikasi pancasila sebagai filsafat
pendidikan indonesia dalam praktik pendidikan
Implikasi filsafat Pancasila bagi pendidikan nasional, yakni tercapainya
dasar dan tujuan pendidikan yang berdasarkan pada nilai-nilai ideal Pancasila.
Implikasi lainnya adalah dalam rangka menentukan program kurikulum, dan dalam
kurikulum tujuan pendidikan harus tergambar dengan jelas. Program tersebut
mencerminkan arah dan tujuan yang hendak dicapi dalam proses pendidikan. Dalam
kurikulum tidak saja dijabarkan serangkaian ilmu pengetahuan yang harus
diajarkan oleh guru kepada siswa, akan tetapi juga segala kegiatan yang
bersifat pedagogis (mendidik), seperti yang tertuang dalam Pancasila.
Filsafat pancasila telah menjadikan dasar terselenggarannya praktik
pendidikan dan sebagai sarana mewujudkan tujuan pendidikan Indonesia yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan harus mempunyai dasar untuk menyusun
program dan terlaksannya suatu pendidikan yang berkualitas dan sesuai pada
dasar Indonesia itu sendiri yaitu pancasila.
Berikut ini adalah implementasi pancasila sebagai filsafat pendidikan
Indonesia :
a.
Sesuai dengan sila pertama yaitu
ketuhanan Yang Maha Esa maka suatu
Misalnya :
1)
sebelum memulai dan mengakhiri
pelajaran guru harusnya mengajak siswa untuk berdoa terlebih dahulu.
2)
Di dalam proses pembelajaran guru
menyelipkan nilai-nilai ketuhanan pada setiap isi materi seperti halnya siswa
di ajarkan untuk selalu bersyukur terhadap ciptaan tuhan,contoh : alam, makhluk
hidup, adanya system pernapasan dan sebagainya.
3)
Membiasakan adanya jam untuk
beribadah sesuai dengan agama masing-masing.
b.
Sesuai dengan sila kedua yaitu
kemanusiaan yang adil dan beradab maka dapat implikasi di dalam kelas adalah :
1)
Guru memperlakukan siswa dengan baik
tanpa menggunakan kekerasan baik secara lisan maupun perbuatan.
2)
Guru memberikan sarana dan prasarana
untuk mengembangkan potensi yang ada dalam peserta didik.
3)
Guru memberikan apresiasi kepada
siswa yang mampu mengerjakan tugasnya dengan baik.
4)
Guru memahami potensi yang ada pada
setiap peserta didik.
c.
Sesuai dengan sila ke tiga yaitu
persatuan Indonesia :
1)
guru mampu menciptakan situasi yang
menimbulkan kerjasama didalam belajar, antara anak dengan anak, antara anak
dengan guru, begitu pula antara sesama guru (diskusi, presentasi dan pengajaran
pola kolabarasi)
2)
dengan diadakannya upacara bendera
setiap hari senin maka dapat mempersatukan peserta didik.
3)
Mengadakan program ekstrakurikuler,
pramuka, calss meeting, kerja bakti dan sebagainya yang bertujuan untuk
mempersatukan peserta didik satu dengan lainnya.
d.
Sesuai dengan sila ke empat yaitu
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan :
1)
Guru memberikan kesempatan kepada
siswa untuk berpendapat dalam setiap proses pembelajaran.
2)
Adanya pemilihan pengurus kelas
dengan cara musyawarah dan voting.
3)
Guru mampu memberikan solusi
terhadapan kesulitan belajar siswa baik secara materi maupun metode yang
digunakan di dalam kelas.
e.
Sesuai dengan sila ke lima yaitu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam sila itu Contohnya :
1)
Guru tidak membeda bedakan peserta
didik yang satu dengan yang lainnya dalam hal pemberian sangsi, materi dan
bimbangan saat proses pembelajaran.
2)
Dalam penerimaan siswa baru, sekolah
tidak memprioritaskan uang sumbangan yang lebih besar.
3)
Seorang siswa tidak memilih milih
teman, ia mampu berteman dengan siapa saja dan berlaku adil kepada semua
temannya.
BAB III
SIMPULAN
A. Filsafat Pendidikan Realisme
Pendidikan dalam realisme memiliki keterkaitan erat dengan pandangan John
Locke bahwa akan-pikir jiwa manusia tidak lain adalah “tabula rasa”, ruang
kosong serupa kertas putih yang perlu menerima perlakuan dari lingkungan. Oleh
karena itu, pendidikan dipandang dibutuhkan untuk membentuk setiap individu
agar mereka menjadi apa yang dipandang baik. Dengan demikian, pendidikan dalam
realisme kerap didentikkan sebagai psikologi behaviorism dalam ruang
pengajaran.
Murid dipandang sama sekali tidak mengetahui apapun kecuali apa-apa yang
telah pendidikan berikan. Di sini dalam pengajaran realisme, siswa menjadi
subjek didik yang tak berbeda dengan robot. Ia mesti tunduk dan patuh
sepatuh-patunya untuk diprogram oleh materi-materi yang telah ditetapkan
sedemikian rupa.
Di akhir prose pendidikan, realisme berharap manusia sukses dibentuk untuk
hidup dalam nilai-nilai yang telah menjadi common sense sehingga manusia
mampu beradaptasi dengan lingkungan yang ada. Sisi buruk pendidikan model ini
adalah banyak dikendalikan skeptisisme positivistic, yaitu mereka dalam hal apa
pun cenderung meminta bukti dalam bentuk-bentuk yang bisa didemonstrasikan
secara inderawi.
Realisme juga berjasa bagi perkembangan dunia pendidikan yaitu pengembangan
media pembelajaran.Temuan Crezh, seorang pendidik di Mosenius pada abad ke-17
dengan karya Orbic Pictur-nya, sempat mengejutkan dunia pendidikan dan
dipandang sebagai gagasan baru. Ini karena pada saat itu belum ada satu pun
memiliki pemikiran untuk memasukkan alat bantu visual seperti gambar-gambar perlu
digunakan dalam pengajaran anak, terutama dalam mempelajari bahasa. Di abad
selanjutnya, yaitu ke-18 menjelang abad 19, gagasan Moravi menginspirasi
Pestalozzi untuk menghadirkan objek-objek peraga fisik dalam ruang pengajaran
di dalam kelas.
Corak lain kecenderungan pendidikan realisme adalah adalah kuatnya
tekanan-tekanan yang mengarahkan kepada keteraturan yang bersifat mekanistik,
apa yang diterapkan realisme ke dalam ruang belajar dipandang melahirkan
berbagai hal yang kemudian menuai banyak kecaman sebab dinilai telah menjadi
penyebab dehumanisasi.
Berdasarkan aliran realisme, maka tujuan pendidikan akan dirumusakan
sebagai upaya pengembangan potensi-potensi yang ada dan dimiliki oleh peserta
didik untuk menjadi seoptimal mungkin. Menurut Realisme, yang dimaksud dengan
hakikat kenyataan suatu benda itu berada pada ”hal” atau ”benda” itu sendiri.
Jadi, bukan bagaimana benda itu dinilai dari luar. Oleh karena itu, wajar bila
yang menjadi perhatian pertama dalam pendidikan adalah apa yang ada pada peserta
didik .
Berikut ini adalah beberapa pandangan Filsafat realisme terhadap
pendidikan:
a.
Tujuan Pendidikan. Tujuan-tujuan
pendidikan dalam aliran realisme adalah supaya peserta didik mampu menyesuaikan
diri dengan lingkungan dan dapat melaksanakan tang jawab sosial. Kurikulum
berisi unsur-unsur pendidikan untuk mengembangkan kemampuan berfikir dan
pendidikan praktis untuk kepentingan bekerja. Kurikulum berisi semua
pengetahuan yang berguna dalam menyesuaikan diri dan membentuk tanggung jawab
sosial.
b.
Inisiatif dalam pendidikan harus
ditekankan pada pendidik bukan pada anak. Peranan pendidik adalah menguasai
pengetahuan, keterampilan teknik-teknik pendidikan dengan kemampuan untuk
mencapai target pendidikan yang dibebankan kepadanya.
c.
Inti dari proses pendidikan adalah
asimilasi dari materi yang telah ditentukan. Kurikulum diorganisasikan dan
direncanakan dengan pasti oleh guru.
d.
Semua kegiatan belajar dilakukan
melalui pengalaman, baik langsung maupun tidak langsung. Metode mengajar
hendaknya bersifat logis, bertahap atau berurutan. Pembiasaan menjadi metode
pokok yang dipergunakan baik oleh kalangan penganut realisme maupun
behaviorisme.
e.
Sangat penting untuk menegakkan
aturan dan tata cara yang baik dalam belajar. Peserta didik perlu mempunyai
disiplin mental dan moral.
B. Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Penekanan utama pragmatisme dalam pendidikan selalu
dilandaskan bahwa peserta didik bukanlah objek, melaikan subjek yang memiliki
pengalaman. Subjek didik adalah individu yang mampu mengalami sehingga mereka
berkembang dan berinisiatif dalam mengatasi problem-problem hidup. Terkait
lingkungan pendidikan, pragmatisme menilai bahwa situasi di sekolah dan situasi
di luar sekolah adalah sama-sama bagian dari pengalaman hidup, kehidupan di
sekolah bukan bagian dari persiapan untuk menjalani hidup.
Pragmatisme memandang bahwa pelajar harus menghadapi
problem yang memicu lahirnya tindakan dari pemikiran yang sangat reflektif,
sehingga kecerdasan peserta didik akan melahirkan pertumbuhan yang membuat
mereka mampu beradaptasi dengan dunia yang selalu berubah.
Pendidikan pragmatisme kerap dianggap sebagai
pendidikan yang mencanangkan nilai-nilai demokrasi di dalam kelas. Dasar
pemikirannya adalah bahwa setiap orang dalam suatu masyarakat memiliki
kesempatan untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan pendidikan yang
ada. Karena pendidikan bukan ruang yang
terpisah dari sosial, maka berlaku pula kaidah-kaidah mengenai pentingnya
aspirasi.
Guru dalam pragmatisme sangat berbeda dengan guru
dalam pendidikan tradisional otoritatif yang menekankan pentingnya kepatuhan
siswa. Dalam pendidikan pragmatism, guru mendapingi subjek didik sebagai
pengarah atau pemandu aktivitas dengan cara menawarkan
pertimbangan-pertimbangan yang bersumber dari pengalaman guru yang lebih luas
dari pengalaman peserta didik.
Pengajaran pragmatisme sangat berbeda dengan pengajaran
tradisional yang formal dan kaku. Pendidikan pragmatisme justru sering
dilakukan di luar ruangan, di alam terbuka, dan di berbagai tempat yang disukai
peserta didik. Metode pengajaran dalam pragmatisme selalu menekankan bahwa
pengalaman adalah hal yang utama. Oleh karena itu, upaya pengajaran dilakukan
selalu menjadi sesuatu yang dekat dengan hidup. Seseorang yang hendak belajar
tentang pertanian akan dibawa langsung di area tempat kegiatan-kegiatan pertanian
dilakukan. Guru menjadi pendamping atau pemandu yang sesekali menjelaskan dan
memberi nasihat bagi para subjek didik. Metode ini popular dengan nama metode
eksperimental.
Kebijakan-kebijakan sekolah selalu menjadi
kebijakan liberalisme, dalam artian mereka tidak pernah khawatir dengan
perubahan-perubahan sosial. Bagi mereka, perubahan adalah kenyataan hidup yang
tidak mungkin dibendung. Maka pendidikan harus mengajarkan bagaimana mengelola
perubahan dengan cara yang sehat. Sekolah tidak perlu membebani subjek didik
dengan beban-beban yang tidak produktif seperti menghafal dan
kewajiban-kewajiban yang membatasu keaktifan peserta didik sebagai subjek
pembelajar. Pendidikan justru harus mengajarkan cara belajar sehingga peserta
didik mampu menyesuaikan dengan perubahan-perubahan hidup yang terus-menerus menimpa dunia
mereka. Di sini kurikulum pendidikan pragmatis lebih banyak didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan proses ketimbang muatan materi.
C. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
a.
Menurut Power (1982), yang dikutip
oleh Uyoh Sadulloh, beberapa implikasi filsafat pendidikan eksistensialisme
adalah sebagai berikut:
b.
Tujuan pendidikan. Memberi bekal
pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan.
c.
Status siswa. Makhluk rasional
dengan pilihan bebas dan tanggungjawab atas pilihannya. Suatu komitmen terhadap
pemenuhan tujuan pribadi.
d.
Kurikulum. Yang diuatamakan adalah
kurikulum liberal. Kurikulum liberal merupakan landasan bagi kebebasan manusia.
Kebebasan memiliki aturan-aturan. Oleh karena itu, di sekolah diajarkan
pendidikan sosial, untuk mengajar “respek” (rasa hormat) terhadap kebebasan
untuk semua. Respek terhadap kebebasan bagi yang lain adalah esensial.
Kebebasan dapat menimbulkan konflik.
e.
Peranan guru. Melindungi dan
memelihara kebebasan akademik, di mana mungkin guru pada hari ini, besok lusa
mungkin menjadi murid.
f.
Metode. Tidak ada pemikiran yang
mendalam tentang metode, tetapi metode apapun yang dipakai harus merujuk pada
tata cara untuk mencapai kebehagiaan dan karakter yang baik. ( Sadulloh, 2014: 135-137).
D. Pancasila sebagai filsafat pendidikan Indonesia
Implikasi filsafat Pancasila bagi pendidikan nasional, yakni tercapainya
dasar dan tujuan pendidikan yang berdasarkan pada nilai-nilai ideal Pancasila.
Implikasi lainnya adalah dalam rangka menentukan program kurikulum, dan dalam
kurikulum tujuan pendidikan harus tergambar dengan jelas. Program tersebut
mencerminkan arah dan tujuan yang hendak dicapi dalam proses pendidikan. Dalam
kurikulum tidak saja dijabarkan serangkaian ilmu pengetahuan yang harus
diajarkan oleh guru kepada siswa, akan tetapi juga segala kegiatan yang bersifat
pedagogis (mendidik), seperti yang tertuang dalam Pancasila.
Filsafat pancasila telah menjadikan dasar terselenggarannya praktik
pendidikan dan sebagai sarana mewujudkan tujuan pendidikan Indonesia yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan harus mempunyai dasar untuk menyusun
program dan terlaksannya suatu pendidikan yang berkualitas dan sesuai pada
dasar Indonesia itu sendiri yaitu pancasila.
Berikut ini adalah implementasi pancasila sebagai filsafat pendidikan
Indonesia :
1)
Sesuai dengan sila pertama yaitu
ketuhanan Yang Maha Esa maka suatu
Misalnya :
a)
sebelum memulai dan mengakhiri
pelajaran guru harusnya mengajak siswa untuk berdoa terlebih dahulu.
b)
Di dalam proses pembelajaran guru
menyelipkan nilai-nilai ketuhanan pada setiap isi materi seperti halnya siswa
di ajarkan untuk selalu bersyukur terhadap ciptaan tuhan,contoh : alam, makhluk
hidup, adanya system pernapasan dan sebagainya.
c)
Membiasakan adanya jam untuk
beribadah sesuai dengan agama masing-masing.
2.
Sesuai dengan sila kedua yaitu kemanusiaan
yang adil dan beradab maka dapat implikasi di dalam kelas adalah :
a)
Guru memperlakukan siswa dengan baik
tanpa menggunakan kekerasan baik secara lisan maupun perbuatan.
b)
Guru memberikan sarana dan prasarana
untuk mengembangkan potensi yang ada dalam peserta didik.
c)
Guru memberikan apresiasi kepada
siswa yang mampu mengerjakan tugasnya dengan baik.
d)
Guru memahami potensi yang ada pada
setiap peserta didik.
3.
Sesuai dengan sila ke tiga yaitu
persatuan Indonesia :
a)
guru mampu menciptakan situasi yang
menimbulkan kerjasama didalam belajar, antara anak dengan anak, antara anak
dengan guru, begitu pula antara sesama guru (diskusi, presentasi dan pengajaran
pola kolabarasi)
b)
dengan diadakannya upacara bendera
setiap hari senin maka dapat mempersatukan peserta didik.
c)
Mengadakan program ekstrakurikuler,
pramuka, calss meeting, kerja bakti dan sebagainya yang bertujuan untuk
mempersatukan peserta didik satu dengan lainnya.
4.
Sesuai dengan sila ke empat yaitu
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan :
a)
Guru memberikan kesempatan kepada
siswa untuk berpendapat dalam setiap proses pembelajaran.
b)
Adanya pemilihan pengurus kelas
dengan cara musyawarah dan voting.
c)
Guru mampu memberikan solusi
terhadapan kesulitan belajar siswa baik secara materi maupun metode yang
digunakan di dalam kelas.
5.
Sesuai dengan sila ke lima yaitu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam sila itu Contohnya :
a)
Guru tidak membeda bedakan peserta
didik yang satu dengan yang lainnya dalam hal pemberian sangsi, materi dan
bimbangan saat proses pembelajaran.
b)
Dalam penerimaan siswa baru, sekolah
tidak memprioritaskan uang sumbangan yang lebih besar.
c)
Seorang siswa tidak memilih milih
teman, ia mampu berteman dengan siapa saja dan berlaku adil kepada semua
temannya.
DAFTAR PUSTAKA
Alwashilah, A. Chaedar. 2014. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung:
PT. Remaja Rosda Karya.
Assegaf, Abd. Rahman.
2014. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:
RajaWali Pers.
Kaelan. 1996. Filsafat Pancasila. Yogyakarta:
Paradigma.
Marimba, Ahmad D. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam.
Bandung: PT. Al-Ma’arif.
Mudyahardjo, Redja. 2008. Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung : PT.
Remaja Rosda Karya.
Sadulloh, Uyoh. 2012.
Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sugiono & Muis, Tamsil. Filsafat Pendidikan (Teori dan Praktek). 2012. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Suhartono, Suparlan.
2007. Filsafat Pendidikan.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Setyaningsih, Trisna.
2012. Implementasi Nilai-Nilai Pancasila
dalam Pendidikan.
trisna-setianingsih.blogspot.com/2012/12/Implementasi-Nilai-Nilai-Pancasila.html?m=1.
Diakses tanggal 22-11-2015 pukul10:23
Teguh Wangsa Gandhi
HW. 2001. Mazhab-mazhab Filsafat
Pendidikan. Penerbit: Ar-Ruzz Media.
Zuhairini. 2012. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi
Aksara.